Rabu, 16 Maret 2011

Nabi Muhammad Saw dan Konversi Syariat Samawi

Dari ke'tidak terbatas'an kepada ke'terbatas'an.Disaat para malaikat tenggelam dalam keindahan khusuk di kolam ibadah kepada Sang Khaliq. Dengung dzikir mereka bagai jutaan lebah mengitari sumber madu. Saat asyik menghisap manis bulir-bulir madu khidmat itu, tiba-tiba mereka dihenyakkan dengan gelegar firman Tuhan yang Maha Agung:
 
وِِِاذقال ربک للملئکة انی جاعل فی الارض خلیفة
                  
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak mengutus khalifah di muka bumi…!”
Dalam keterkejutan yang masih menggelayut dalam diri mereka karena titah Allah yang –bagi para malaikat- tiba-tiba itu, para malaikat bertanya:
 
قالوا اتجعلو فیها من یفسد فیها ویسفک الدماء
 
"Apakah Engkau hendak mengutus utusan yang akan berbuat kerusakan  dan gemar menumpahkan darah…?"
Dengan jalaliyah-Nya, Allah berfirman:
قال انی اعلم مالا تعلمون
 
“Aku Maha Tahu apa yang kalian tidak ketahui…!”
Dialogpun berlanjut meski pada akhirnya para malaikat tunduk kepada titah Sang Maha Agung dan diutuslah sang khalifah pilihan setelah terbukti bahwa ia lebih unggul dalam segala hal dari para malaikat.
Diatas adalah penggalan dari serentetan dialog antara Allah dengan para malaikat-Nya tentang pemberian otoritas kepemimpinan samawi kepada makhluk yang bernama Adam (manusia) dan untuk selanjutnya menjadi kepanjangan tangan-Nya dalam mengatur  dunia dan alam semesta.
Saat berusaha menyelami baris demi baris ayat-ayat tersebut, sebuah pertanyaan mendasar muncul : Mengapa Allah 'harus' mengutus seorang manusia sebagai khalifah untuk mengatur bumi dan alam semesta ini?. Apakah Allah, wal'iyaadzu billah, tidak mampu melakukannya sendiri sehingga Dia membutuhkan utusan?. Jika Allah mampu melakukannya sendiri tanpa halangan maka pengangkatan khalifah pengatur alam adalah perbuatan tahsil al hasil (sia-sia).

Untuk mengetahui jawabannya diperlukan beberapa mukadimah sederhana guna menuntun kita kepada inti persoalan.
Dalam hukum sebab akibat kita mengenal dua unsur utama terbentuknya satu qadhiyah (peristiwa). Dua unsur itu adalah faa'iliyat al faa'il (aktivitas pelaku) dan qaabiliyat al qaabil (potensi penderita untuk terkena aktivitas pelaku).
Sebagai contoh adalah peristiwa terbakarnya kertas. Peristiwa tersebut tidak akan terjadi kecuali karena adanya jilatan api sebagai faailiyat dan kertas yang dalam keadaan kering sebagai qaabiliyat. Jika tidak ada api maka kertas tidak akan terbakar dan  meski ada jilatan api, jika kertas tersebut basah kuyup maka kertas juga tidak akan terbakar.

Dalam hubungan antara Allah yang tidak terbatas dengan makhluk yang penuh keterbatasan juga berlaku hukum yang sama.
Allah bukan tidak mampu menurunkan syariat dan titah-Nya secara langsung kepada makhluk-Nya akan tetapi mampukah makhluk –dengan segala keterbatasan wujudnya-  menerima hal itu langsung dari-Nya yang tiada terbatas?
Kita bisa menuangkan air satu ember besar ke gelas kecil di bawahnya dengan mudah. Permasalahannya adalah: apakah gelas kecil itu mampu menampung semua air itu tanpa tumpah sedikitpun?
Karena itu, untuk mecapai tujuan penyampaian risalah-Nya, Allah menciptakan wasilah (fasilitas perantara) yang berfungsi sebagai alat konversi bagi format samawi ilahi yang tidak terbatas kedalam format ardhi (bumi) sehingga mampu difahami oleh makhluk seperti manusia dengan segala keterbatasannya.

Maka, pada hakikatnya, tugas para utusan (malaikat, nabi atau rasul) adalah sebagai wasilah konversi sabda samawi ilahi menjadi tuntunan ardhiy yang dipahami dan bisa diamalkan.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad bersabda:

لاَتَجْمَعُوْا ِاسْمِي وَكُنْيَتِي وَاَنَا أَبُوْ الْقَاسِمِ : اللهُ يُعْطِي وَأَنَا أَقْسِمُ
 
“Jangan kalian mencampuradukkan nama dan julukanku, aku adalah Abul Qasim (karena) Allah yang memberi dan aku yang membagi”.

Jadi, untuk menerima titah-Nya, manusia memerlukan penerjemah dan penjabar wahyu sehingga tujuan dari isi wahyu itu sendiri bisa tercapai. Kita menerimanya setelah mengalami konversi sehingga setelah itu kita mampu menjadikannya sebagai tuntunan hidup dan jalan kebahagiaan.
Muhammad saw. sang penghulu para utusan
Diantara nabi-nabi Allah, Nabi Muhammad saw. disebut dengan Sayyid Al Anbiya atau penghulu para nabi. Sebutan itu bukan tanpa dasar karena dalam jajaran para nabi utusan, Nabi Muhammad memikul sebuah syariat paling agung yang akan berlaku sepanjang sejarah umat manusia, bahkan alam semesta.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ الاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
 
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”
Secara umum, ajaran Nabi Muhammad saw. adalah konversi final bagi syariat samawi yang dibawa nabi-nabi sebelumnya. Meskipun secara khusus masih terjadi beberapa proses konversi dalam kepemimpinan atas syariat Nabi Muhammad saw.
Saya lebih memilih kata konversi mengingat inti ajaran Nabi Muhammad saw.  tidaklah bertentangan dengan risalah nabi-nabi sebelumnya bahkan membenarkan apa yang termaktub dalam kitab-kitab samawi itu. Perubahan hanya pada ushlub dakwah dan model kepemimpinan syar’i  Nabi Muhammad dan penerus setelahnya. Hal itu mengingat tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad sementara syariat samawi abadi ini akan terus berlanjut. 

Dibawah ini adalah konversi syari’at samawi terdahulu kepada pada syari’at Nabi Muhammad saw. yang terjadi dari jaman pengutusannya hingga akhir jaman:
Konversi titah samawi ilahi kedalam format ardhi secara lebih universal
Berbeda dengan syariat nabi-nabi terdahulu, syariat Muhammad saw. berlaku untuk jangka waktu yang sangat panjang yaitu hingga akhir jaman.
Jika demikian maka syariat Nabi Muhammad saw. haruslah bersifat universal dan mengandung ajaran yang menjadi solusi setiap permasalahan yang muncul sejak diturunkan hingga akhir dunia.

مال هذاالکتاب لا یغادر صغیرة ولا کبیرة الا احصها
 
“…kitab apakah ini yang tidak meninggalkan hal-hal kecil apalagi hal besar kecuali semua telah tercakup didalamnya”.

Itulah makna dari kedudukan Nabi Muhammad saw. sebagai Khatam Al Anbiya atau penutup para nabi. Yaitu Nabi dengan syariat final dan tidak ada lagi syariat setelahnya.
Sementara para nabi sebelumnya mengemban tugas risalah samawi untuk jangka waktu yang lebih singkat dan untuk umat dalam lingkup lebih terbatas.
Karena itu syariat Muhammad saw. haruslah menjadi syariat universal sebagai tonggak dan mercusuar bagi umat pada setiap jaman dan setiap tempat hingga hari akhir.

Konversi metode penyampaian wahyu samawi

Metode penyampaian wahyu yang dibawa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. cenderung mengandalkan panca indera dalam pembuktian kebenarannya. Metode tersebut mengalami perubahan pada jaman Nabi Muhammad saw. Pada masa itu penanaman keimanan kepada titah samawi lebih mengedepankan logika dalam pencapaian hakikatnya.
Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa ayat-ayat Al Quran yang berhubungan dengan keingkaran umat terhadap perintah nabi-nabi terdahulu (sebelum Nabi Muhammad saw.) kebanyakan diakhiri dengan kata:

وَأَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ
……
“…padahal kalian melihat.”

sedangkan saat berbicara tentang keingkaran umat Muhammad saw. terhadap ajarannya kebanyakan ayat diakhiri dengan kalimat:
 
….أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“…apakah kalian tidak menggunakan akal?”

Karena itu mukjizat yang menyertai risalah para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi seperti tongkat menjadi ular, laut yang terbelah, mata air yang terpancar karena pukulan tongkat Nabi Musa as, awan yang menaungi dan sebagainya.
Pada masa kenabian Muhammad saw. hal itu sudah tidak lagi relevan.

Saat itu manusia sudah sampai kepada tingkat pemikiran yang lebih mapan ketimbang sebelumnya. Maka mukjizat yang ditunjukkan Allah melalui Nabi-Nya pun berbeda. Mukjizat pada jaman itu adalah mukjizat logika yang dicerna dan dipahami dengan akal.
Tantangan Al Quran terhadap para pengingkar juga berbeda. Tantangan Al Quran tidak lagi berhubungan dengan penampakan yang menimbulkan ketakjuban panca indera saat melihat sesuatu yang khariq al ‘adah (di luar kebiasaan). Tantangan Al Quran bagai anak panah yang melesat langsung menembus ranah logika manusia. Seperti tantangan untuk membuat satu surat yang serupa Al Quran.

Serupa yang dimaksud adalah kwalitas yang sama baik dari segi fashahah (kefasihan) dan balaghah (kedalaman makna).
Tantangan Al Quran itu adalah hujjah yang kuat akan kebenaran dan kesamawian Al Quran. Karena meski masyarakat Arab pada saat itu adalah masyarakat yang mahir merangkai syair dan kata-kata indah namun mereka tidak mampu menjawab tantang Al Quran itu. Hal itu dikarenakan syair mereka hanya berisi keindahan duniawi yang semu, tanpa ruh dan hanya berisi pujian terhadap harta, wanita dan kekuasaan.
Sementara Al Quran memberikan kedalaman makna dalam setiap rangkaian kalimat-kalimat indahnya. Indah dalam susunan dan pemilihan kata-kata dan solid dalam menyampaikan hakikat-hakikat hidup dan kehidupan.
Hal itu pula yang menjadikan Al Quran sebagai mukjizat yang berlaku kekal hingga hari kiamat karena dimanapun dan sampai kapanpun akan senantiasa menjadi mukjizat selama masih ada akal diantara manusia.

Konversi dari Nubuwwah ke Imamah.

Konsekwensi dari eksistensi ajaran Muhammad saw. sebagai agama akhir jaman adalah keharusan aqliy akan adanya pelanjut dan pemelihara risalah ini.


انا نحن نزلناالذکر واناله لحافظون
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Quran dan Kami pula yang akan menjaganya”

Karena itu, pada masa kenabiannya, Nabi Muhammad telah mencanangkan sebuah konversi kepemimpinan ilahi. Konversi dari format kenabian kedalam format imamah (keimaman), dimana ketaatan kepada khalifah-khalifah pilihan Nabi (dengan ijin Allah) itu sama hukumnya dengan ketaatan kepadanya dan ketaatan kepada Allah. Setiap keingkaran terhadapnya adalah maksiat kepada Allah yang tak terampuni.


یآیهاالذین امنوا اطیعواالله و اطیعواالرسول واولی الامر منکم
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan Ulul Amri dari kalian…!”
Dalam masalah ini Rasulullah saw. bersabda :

“Aku tinggalkan bagi kalian dua warisan yang besar: Kitabullah (Al Quran) dan Itrah(Ahlul Bait)ku . Jika kalian berpegang kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat untuk selamanya. Keduanya tidak akan pernah terpisah hingga bertemu denganku di telagaku…”
Artinya, pada setiap jaman dan tempat dimana Al Quran berada maka akan ada seorang khalifah dari itrah (keluarga) Rasulullah saw. yang akan menjaga kemurniannya. Dialah sang Ulul Amri, penerus risalah samawi dan penerima amanat ilahi untuk membimbing umat ini. Meskipun orang-orang kafir tidak menghendakinya.

Konversi dari penunjukan figur kepada penunjukkan berdasar kriteria
Figur pengganti Nabi Muhammad saw.,setelah berakhir masa kenabian, telah ditentukan oleh Allah swt. melalui lisan Nabi-Nya.Nabi telah berulang kali, dan di banyak kesempatan, menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as. sebagai khalifah dan imam setelahnya. Di persimpangan antara Mekah dan Madinah, di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, Nabi saw. mengumpulkan para sahabatnya. Peristiwa itu terjadi sepulang rombongan Nabi saw. dari haji wada’ (perpisahan). Setelah Rasulullah saw. berhasil menarik perhatian seluruh sahabat yang hadir saat itu, Rasulullah menyampaikan khotbah yang cukup panjang. Inti dari khotbah itu adalah ketika Nabi bersabda (sembari mengangkat tangan Imam Ali bin Abi Thalib) : “….barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ia harus menganggap Ali sebagai pemimpinnya pula. Ya Allah, sayangi siapapun yang memperwalikan Ali dan musuhi setiap yang memusuhi (wilayah)nya…!”

Setelah itu sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab mendekati Imam Ali dan berkata: “Selamat kepadamu wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpin kaum mukmin, laki-laki maupun perempuan”.
Sebagaimana yang disabdakan Nabi, kepemimpinan umat setelahnya dimulai dari Ali bin Abi Thalib hingga dua belas orang jumlahnya.
Semua telah disebutkan nama-namanya oleh Rasulullah.
Yang terakhir dari mereka adalah Imam Mahdi as. yang dighaibkan oleh Allah untuk menjaga agar tidak diperangi oleh para pengingkar agama dan agar syariat Muhammad saw. tetap terpelihara hingga akhir perjalanannya.

Pada masa ghaibah shugra (ghaib kecil), Imam Mahdi masih melanjutkan misi konversi itu dengan memilih beberapa wakil khusus untuk penyampaian risalahnya. Para wakil khusus itu merupakan wasilah untuk mengkonversi risalah Imam yang ghaib untuk disampaikan kepada umat pada masa itu.
Secara logika, akan terjadi sebuah kekosongan dalam kepemimpinan umat pada saat Imam Mahdi as. mengalami ghaibah kubra (ghaib besar) dimana beliau dighaibkan dari umat untuk tujuan kelangsungan risalah. Masa ghaibah kubra diawali dengan wafatnya wakil-wakil khusus pilihannya.
Tapi, dengan ma’rifat laduni yang dimiliki, para Imam Ahlul Bait as. yang merupakan khalifah Rasulullah saw. mengetahui hal itu akan terjadi. Dengan ijin Allah mereka pun memilih pelaksana kepemimpinan umat pada masa ghaib Imam Mahdi dan berlalunya masa wakil-wakil khususnya. Pemilihan itu tidak lagi dengan menunjuk kepada figur tertentu tapi dengan menyebutkan kriteria kelayakan bagi wakil umat untuk memegang amanat suci itu.
Dengan demikian dimulai era fuqaha (ulama) yang akan menutup kekosongan kepemimpinan syar’i. Mereka (para ulama) akan menggali, dari sumber-sumber syariat yang valid, segala solusi untuk menghadapi problematika umat yang kian hari kian berkembang dan penuh komplikasi. Hasil dari istinbath (penggalian) itu menjadi fatwa yang mengatur mobilitas umat di semua bidang agar tetap sejalan dengan risalah Nabi Muhammad saw.

Dari apa yang telah dibahas diatas, dapat kita temukan beberapa hal penting:
Kelangsungan syariat Muhammad saw. tertumpu pada keberhasilan Nabi saw. dan para khalifahnya dalam melakukan konversi terhadap kepemimpinan dan pelaksanaan syariat abadi ini. Meskipun dalam perjalanannya banyak aral dan gangguan yang menghadang.
Perlu ditekankan dan dipahami bahwa saat kita menyebut tentang konversi yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dan para khalifahnya, hal itu bukan berarti bahwa Nabi dan para khalifah melakukan inovasi dan rekayasa syari’at sesuai keinginan dan pemahaman mereka. Karena seorang muslim meyakini bahwa setiap yang dilakukan Nabi  adalah kehendak Allah swt.
Bukankah Allah telah berfirman:
وما نیطق عن الهوی  –  ان هو الاوحي يوحي – علمه شدیدالقوی
“Dia tidak berbicara berdasar hawa nafsu. Hal itu tidak lain adalah wahyu. Yang diajarkan Tuhan yang Maha Kuat”
Jika dari yang tak terbatas menuju yang terbatas saja memerlukan wasilah konversi, maka gerakan dari yang terbatas menuju yang tak terbatas lebih membutuhkannya lagi. Karena itu dalam doa-doa yang dipanjatkan kepada Sang Khaliq, makhluk pun harus berusaha mencari wasilah konversi untuk sampai kepada-Nya. Karena itulah kita bertawasul kepada Nabi dan para khalifah pilihannya ketika kita memohon sesuatu kepada Allah swt. Selain menkonversi risalah Allah kepada manusia agar bisa dipahami, mereka juga mengkonversi doa dan permohonan kita agar membentuk formasi yang layak dikabulkan oleh-Nya. Karena itu doa ma-tsur (dengan redaksi telah ditetapkan) lebih afdhal daripada doa yang ghairu ma-tsur (disusun sesuai keinginan si pendoa). Hal itu dikarenakan doa ma-tsur adalah doa yang tarkib (susunan), pemilihan kata dan tata bahasanya telah dikonversi menjadi bahasa samawi yang malakuti. Sehingga doa itu terjamin kelayakannya untuk kita panjatkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Terpuji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar