Sabtu, 05 Februari 2011

Ali Dan Ke'arifannya

Saya memuji Allah dengan memohon kelengkapan Rahmat-Nya dengan tunduk kepada Keagungan-Nya dan mengharapkan keselamatan dari ber-buat dosa kepada-Nya. Saya memohon pertolongan-Nya karena memerlukan kecukupan-Nya (untuk perlindungan). Orang yang ditunjuki-Nya tidak tersesat, orang yang memusuhi-Nya tidak mendapat perlindungan, orang yang didukung-Nya tidak akan tetap kekurangan. Pujian adalah yang paling berat dari semua yang ditimbang dan paling berharga dari semua yang disimpan.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa. Tidak ada yang menyerupai-Nya. Kesaksian saya telah teruji dalam keterbukaannya, dan hakikatnya adalah iman kami. Kami akan berpegang teguh padanya selama kami hidup dan akan menyimpannya dengan menghadapi azab yang me-nyusul kami karena ia adalah batu fondasi keimanan dan langkah pertama kepada amal saleh dan keridaan Ilahi. la adalah sarana untuk menjauhkan iblis.
Saya juga bersaksi bahwa Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Allah mengutus-Nya dengan agama yang cemerlang, syiar yang efektif, Kitab yang terpelihara, cahaya yang bersinar, nyala yang kemilau, dan perintah yang tegas untuk mengusir keraguan, mengajukan bukti-bukti yang jelas, menetapkan peringatan melalui tanda-tanda, dan memperingatkan akan hukuman. Pada waktu itu manusia telah jatuh ke dalam kemungkaran yang dengan itu tali agama telah diputuskan, tiang-tiang keimanan telah tergoncang, prinsip-prinsip telah dicemari, sistem telah jungkir balik, pintu-pintu sempit, lorong-lorong gelap, petunjuk tidak dikenal, dan kegelapan merajalela.
Allah tidak ditaati, iblis diberi dukungan, dan keimanan telah dilupakan. Akibatnya, tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak terlihat, lorong-lorongnya telah dirusakkan dan jalan-jalannya telah binasa. Manusia menaati iblis dan melangkah pada jalan-jalannya. Mereka mencari air pada tempat-tempat pengairannya. Melalui mereka lambang-lambang iblis berkibar dan panjinya diangkat dalam kejahatan yang menginjak-injak manusia di bawah tapak kakinya, dan melangkah di atasnya dengan kaki mereka. Kejahatan berdiri (tegak) di atas jari-jari kakinya dan manusia yang tenggelam di dalamnya menjadi bingung, jahil dan terbujuk seakan-akan dalam suatu rumah yang baik[i] dengan tetangga-tetangga yang jahat. Sebagai ganti tidur, mereka terjaga, dan sebagai celaknya adalah air mata. Mereka berada di suatu negeri di mana orang berilmu terkekang (mulut mereka tertutup) sementara orang jahil dihormati.
Dalam khotbah yang sama, Amirul Mukminin a.s. merujuk kepada Ahlul Bayt sebagai berikut:
Mereka adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, sumber pengetahuan tentang Dia, pusat kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitab-Nya dan bukit bagi agama-Nya. Melalui mereka Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan menyingkirkan gemetar anggota-anggota badannya.
Dalam khotbah yang sama,  ia berbicara tentang orang lain sebagai berikut:
Mereka menabur kejahatan, mengairinya dengan tipuan dan menuai kehancuran. Tak seorang pun di antara umat Islam yang dapat dipandang sejajar dengan Keluarga Muhammad SAWW.[ii] Orang yang mendapatkan kenikmatan dari mereka tak dapat dibandingkan dengan mereka. Mereka adalah fondasi agama dan tiang iman. Pelari di depan harus berbalik sementara yang di belakang harus menyusul mereka. Mereka memiliki ciri utama kewalian. Bagi mereka ada wasiat dan warisan (Nabi). Inilah waktunya hak itu kembali kepada pemiliknya dan dialihkan kepada pusat tempat kembalinya. •

[i] Rumah yang baik di sini berarti Makkah, sedang tetangga-tetangga yang buruk berarti kaum kafir Quraisy.
[ii] Tentang keluarga (āl) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada orang di dunia ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini penuh dibebani tanggung jawab mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmal abadi melalui bimbingan mereka. Mereka adalah batu penjuru dan fondasi agama serta pemelihara kehidupannya dan kelanjutannya. Mereka adalah tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian kuat sehingga dapat menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka begitu menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga barangsiapa pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di belakang harus melangkah maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada di jalan Islam. Mereka mempunyai semua keutamaan yang memberikan keunggulan dalam hak kewalian dan imamah, dan tiada orang lain dalam ummah yang mempunyai hak sebagai pelindung dan wali. Itulah sebabnya Nabi me-maklumkan mereka sebagai para wali dan pelanjutnya.
Tentang wasiat dan kewalian, pensyarah ibn Abil Hadid Al-Mu’tazili menulis bahwa tidak mungkin ada keraguan tentang kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak dapat mencakup kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi’ah menafsirkannya demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan. Sekarang, sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena sekalipun dengan penafsiarannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak berpindah pada seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa penge­tahuan adalah syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena fungsi ter-penting dari khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan, penyelesaian masalah hukum-hukum agama, menjelaskan hal-hal yang rumit, dan melaksanakan hukum-hukum agama. Apabila tugas-tugas ini dilepaskan dari khalifah Nabi maka ke-dudukannya akan merosot menjadi pemerintahan duniawi. la tak dapat dipandang sebagai pusat wewenang keagamaan. Oleh karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan dari kekhalifahan Nabi, atau menerima kewalian penge­tahuan Nabi untuk kesesuaian dengan kedudukan itu.
Interpretasi Ibn Abil Hadid dapat diterima, apabila Amirul Mukminin hanya mengucapkan kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal itu diucapkan segera setelah pengakuan terhadap Ali sebagai Khalifah, dan baru sesudah itu ada kalimat “hak itu telah kembali kepada pemiliknya”, penafsirannya ini nampak tak beralasan. Malah, wasiat Nabi itu tak dapat berarti wasiat apa pun selain ke­khalifahan, dan kewalian bukan berarti kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan tempatnya untuk menyebutnya di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian dalam hak kepemimpinan yang datangnya dari Allah; bukan sekadar atas dasar kekeluargaan tetapi atas dasar sifat-sifat kesempurnaan.

Kamis, 03 Februari 2011

WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM MODERAT



Wanita adalah makhluk unik yang diciptakan Allah SWT, keunikannya nampak pada karakter dasar yang dimiliki setiap wanita, sebagaimana disinyalir Rasulullah saw bahwa wanita bak “Qowawir” (kaca) yang memiliki karakteristik seperti lembut, halus, ‘mudah pecah’ (sensitif), karenanya mesti disikapi dengan hati-hati. Beliau bersabda kepada seorang sahabat bernama Anjasyah: “wahai Anjasyah perlahan-lahanlah dalam berjalan, karena kita sedang mengiringi Al-Qawarir (wanita-wanita)” (HR. Bukhari).
Wanita juga merupakan makhluk yang menarik untuk dibicarakan dan dibahas. Kemenarikan bahasan dan pembicaraan wanita nampak pada beragamnya tema-tema bahasan wanita, dari persoalan pribadi wanita yang dapat menjadi zinah (perhiasan) sebagaimana sebaliknya bisa menjadi fitnah (bencana), sampai persoalan peran dan fungsi sosial wanita di luar rumah. Semuanya adalah bahasan yang dibicarakan dalam permasalahan wanita, sejatinya dilakukan secara cermat dan teliti, tanpa gegabah yang dapat menyebabkan kesalahan persepsi terhadap persoalan ini.
Persepsi tentang wanita yang bijak adalah persepsi yang tidak condong kepada pengekangan terhadap wanita karena sikap-sikap yang kaku terhadap teks-teks agama, sebaliknya tidak pula memberikan persepsi yang liberal yang cenderung mempersepsikan kebebasan tanpa batas dan kaidah-kaidah agama yang diangkat dan dibahas oleh para ulama Islam.
“Islam tidak memposisikan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang serba salah. Islam juga tidak membuat mereka merasa berdosa ketika harus terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hanya saja, Islam mewarnainya dengan adab-adab syar’i sebagaimana berbagai aktivitas lain. Islam meletakkan panduan bagi wanita yang dapat menjaga diri berikut masyarakatnya. misalnya menutup aurat, larangan berduaan (berkhalwat), pemberian batas-batas ikhtilath dan hal lain yang terkait dengan keterlibatan wanita dalam aktivitas sosial” [1] .

Posisi Wanita Dalam Islam
Untuk dapat meyakini keunggulan kedudukan dan posisi wanita dalam Islam secara lebih mantap, sebaiknya kita pahami pandangan terlebih dahulu posisi wanita dalam pandangan kebudayaan-kebudayaan kuno, seperti wanita dalam pandangan perundang-undangan China, Yunani, Romawi, India dan Italia dsb.
Dalam budaya China Kuno terdapat sebuah kaidah: "tidak ada di dunia sesuatu yang paling rendah nilainya selain wanita", "wanita adalah tempat terakhir dalam jenis kelamin dan dia mesti ditempat pada pekerjaan yang paling hina" [2] .
Dalam perundang-undangan Yunani, sebagaimana ditulis Dymosten: "kami menjadikan wanita pelacur untuk bersenang-senang, menjadikan teman wanita (pacar) untuk kesehatan fisik kami, menjadikan istri-istri kami agar kami memiliki anak-anak yang legal" [3] .
Di Italia pada sebagian wilayahnya wanita dianggap seperti pembantu rumah tangga, dia hanya boleh duduk di lantai sementara suaminya duduk di atas kursi. Apabila suaminya mengendarai kuda maka sang istri mesti berjalan di bawah mengikuti sang suami meski dalam perjalanan yang jauh sekalipun" [4] .
Sedangkan India dalam materi Qanun no: 147 disebutkan bahwa wanita tidak berhak pada setiap tahapan hidupnya untuk melakukan aktifitasnya sesuai keinginannya, meskipun dalam masalah rumah tangganya" [5] .
Dalam budaya Romawi wanita tidak mendapatkan posisi terhormat, bahkan diperlakukan seperti anak-anak dan orang-orang gila, sebagaimana dikutip  Abdul Mun'im Badr dan abdul Mun'im al-Badrawi dalam bukunya Mabadi' al-Qanun ar-Rumani hal: 197-265 [6] .
Sedangkan pandangan Arab Kuno terhadap wanita dapat kita cermati dari sebuah ayat al-Qur'an dari sekian banyak ayat-ayat al-Qur'an: "dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59).
Sedangkan sikap Islam terhadap wanita sangat adil dan proporsional; Islam sangat menghargai kedudukan wanita sebagaimana memberikan arahan-arahan untuk dapat menjaga kehormatan dan harga wanita sebagai makhluk Allah dengan segala keunikannya.
Islam menetapkan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan dan tanggungjawab secara umum[7], sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad saw dalam sebuah haditsnya :

النساء شقائق الرجال

“Wanita adala belahan dari pria” (HR. Ahmad dari Aisyah r.a)

Adapun terkait tugas masing-masing dalam keluarga dan masyarakat Islam menetapkan sikap proporsional bagi laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban mereka, sekaligus sebagai bukti keadilan Islam[8] , firman Allah SWT:

4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/4

“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang kakruf” (QS. Al-Baqarah: 228).
Islam memandang bahwa setiap jenis laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan masing-masing; Allah memberikan kelebihan bagi laki-laki atas perempuan dengan satu derajat, firmanNya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة:228]

“dan bagi mereka (wanita-wanita) hak sebagaimana kewajiban dengan makruf, bagi kaum lelaki atas mereka derajat, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228).

Karenanya Allah SWT memberikan tugas lebih berat bagi lelaki atas kaum perempuan; kaum lelakilah yang mengemban tugas-tugas berat seperti kenabian, kepemimpinan global (al-imamah al-uzhma), tugas qodho (peradilan), megimami shalat, jihad fi sabilillah. Sebagaimana diberikan kekhususan kepada kaum pria seperti penisbatan anak kepada bapaknya (lelaki), pembagian waris dua kali lipat atas bagian wanita dan sebagainya.
وقد روى الإمام أحمد في مسنده أن أم سلمة رضي الله عنها قالت: يا رسول الله، تغزُو الرجال ولا نغزو، ولنا نِصفُ الميراث!! فأنزل الله تعالى: وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ [النساء:32][9]
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya bahwa Ummu Salamah r.a berkata: wahai Rasulullah, kaum pria berperang sedangkan kami (kaum wanita) tidak, bagi kami setengah bagian warisan kaum pria?”, kemudian turun ayat 32 surat an-Nisa’: “dan janganlah kalian berangan-angan apa yang Allah beri kelebihan kepada sebahagian kalian atas sebahagian, bagi lelaki bagian apa yang mereka lakukan dan bagi perempuan bagian sesuai apa yang dilakukan, mintalah kepada Allah dari sebagian karuniaNya”.
Imam al-Qurthubi berkata[10]:
Tidak tersembunyi bagi orang cerdas terhadap kelebihan (yang dimiliki) kaum pria atas kaum wanita, kalaulah disebut-sebut bahwa wanita diciptakan dari (sebagian) penciptaan lelaki, maka hal itu (sebenarnya) orisinil, bagi lelaki hak melarang wanita melakukan sesuatu selain atas izinnya”.
Namun demikian, kelebihan tersebut yang merupakan karunia dari Sang Pencipta alam semesta, tidak berarti pelecehan terhadap hak-hak asasi perempuan dan apalagi tidak sama sekali berarti sikap diskriminatif terhadap perempuan; tidak pula secara otomatis bahwa setiap lelaki lebih baik dari semua wanita; karena ada sebuah kaidah yang berlaku, bahwa “melebihkan atas sesuatu tidak mesti penghinaan dan merendahkannya; seperti halnya keyakinan bahwa al-Qur’an seluruhnya adalah Kalamullah, ketika ada sebuah riwayat yang shahih bahwa ayat Kursi (al-Baqarah: 225) adalah ayat yang paling baik, bukan sama sekali berarti –na’idzubillah- bahwa ayat-ayat yang tidak baik. Contoh lain pernyataan tentang kelebihan sebahagian Nabi atas sebahagian lainnya sebagaimana dijelaskan dalam ayat 66 surah al-Isra’, tidak sama sekali bermaksud pelecehan terhadap Nabi yang lain tersebut. Maha Suci Allah SWT dari prasangka buruk orang-orang munafik.
Posisi wanita dalam Islam juga dapat dilihat dari perhatiannya kepada kewajiban pendidikan wanita secara khusus. Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang mempunyai dua anak perempuan, kemudian ia berbuat baik dalam hubungan dengan keduannya kecuali keduanya akan bisa memasukannya ke dalam surga." (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).
Dari Ibnu Abbas ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ”Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, kemudian ia berbuat baik dalam berhubungan dengan mereka dan bertakwa kepada Allah atas (hak) mereka, maka baginya surga" (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, hanya saja pada riwayat Abu Dawud Rasulullah saw bersabda, "Kemudian ia mendidik, berbuat baik, dan menikahkan mereka, maka baginya surga.").
Pendidikan wanita dalam Islam diawali dengan pendidikan dasar, yaitu akidan dan prinsip-prinsip iman, ibadah dan akhlak wanita muslimah. Demikian juga pendidikan skil dan ketrampilan bagi wanita seseuai kebutuhan zaman. Adalah Abul A'la Al Ma'arry berpesan kepada wanita seraya berkata: "Ajarilah mereka memintal dan menjahit. Biarkan mereka membaca dan menulis aksara. Doanya seorang dara dengan Al-Fatihah dan Al-Ikhlas sama dengan membaca Yunus dan Bara'ah".

Wanita Dalam al-Qur’an (Perspektif Balaghoh Qur’aniah).
Hawa adalah wanita pertama yang Allah SWT hadirkan ke muka bumi, Alloh menyebutnya di dalam al-Qur’an dengan lafal “zauj“  (زوج  ) yang termaktub dalam 5 ayat pada 5 surat yang berlainan (lihat: QS. 2:35, 4:1,  7:19, 20:117, 39:6). Pada 3 surat ( QS. 2:35, 7:19, 20:117 ) disebutkan bahwa Hawa ada diantara kisah suaminya Adam a.s, sedangkan 2 surat lainnya dinyatakan Hawa dalam konteks yang berbeda.
Menilik Hawa yang tercantum dalam surat 2:35, di dalamnya terkandung suatu makna betapa besarnya keberadaan seorang wanita di hadapan seorang pria, karena Sunnatulloh pria cenderung kepada wanita yang satu sama lainnya mempunyai ketergantungan, yang dengannya dapat memunculkan sakinah (ketenangan) lahir-bathin dalam mengarungi bahtera kehidupan, manakala keduanya mampu  melaksanakan tugas sebagai suami istri yang shalih dan shalihat.
Hal ini tersirat dalam al-Qur’an dengan kalimat ( اسكن أنت وزوجك الجنة ) artinya: Tinggallah kamu dan istrimua di dalam Surga; kata ( اسكن ) ditujukan kepada Adam dan Hawa dan tidak mengulang kata ( اسكن ) dalam bentuk perintah kepada Hawa seperti misalnya ( اسكن أنت ولتسكن زوجك ) tetapi hanya menyebutkan kata kerja perintah satu kali ( اسكن أنت وزوجك ). Maka kata (اسكن) memiliki konotasi sebuah mahligai rumah tangga  yang mampu menebarkan ketenangan dan kebahagiaan hidup seorang pria, karena disampingnya wanita setia menyertainya sebagai istri.
Dengan kata lain  seorang istri akan menikmati ketenangan dan kebahagiaan hidup ketika berhasil memerankan tugas sebagai istri  bagi suaminya [11] .
Dari kata sambung “waw” mengisyaratkan adanya jalinan yang harmonis antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah. Demikian rahasia al-Qur'an tidak menyebutkan nama Adam atau Hawa, tetapi cukup dengan menyebutkan status Hawa sebagai istri Adam a.s, sebagai pertanda keharmonisan dan ketenangan hidup berumah tangga. Pada ayat tersebut berlaku untuk seluruh manusia yang ingin  menjalankan roda kehidupan di dunia dengan menata kehidupan rumah tangga di bawah rengkuhan ridho Allah Swt.
Maka untuk membangun rumah tangga yang harmonis tak luput dari unsur ta’awun (saling membantu ), agar dapat melaksanakan tugas dan perannya, baik yang bersifat moral maupun material, dijelaskan oleh Allah SWT ketika  Adam dan Hawa   menghadapi  godaan   dan  rayuan  Iblis -la’natulloh ‘alihi-, satu sama lain memperkokoh untuk mampu menghadapi dan melawan tipu daya serta bisikan Iblis menghancurkan keutuhan mereka, karena pada hakekatnya Iblis tidak hanya menggoda Adam, tetapi Hawa tak luput dari sasarannya (عدو لك ولزوجك: Musuh bagimu dan bagi istrimu), sebagaimana tercantum dalam QS. 20:117. Pun diperjelas dengan kata-kata selanjutnya dalam ayat itu ( فلايخرجنكما من الجنة  : Maka ia tidak mengeluarkan kalian berdua dari Surga, dengan kata ganti ( كما ) yang berlaku untuk berdua (Adam dan Hawa).
Namun kata-kata berikutnya  (فتشقى), menggunakan kata ganti yang berlaku untuk seorang, Allah tidak mengatakan ( فتشقيان ) misalnya, yang artinya: maka kalian berdua akan sengsara. Tetapi hanya berkata ( فتشـقى ) yang artinya maka akan sengsara (Engkau hai Adam). Melihat realita yang ada, sesungguhnya dalam membangun mahligai rumah tangga keduanya memiliki tugas yang diemban masing-masing, bagi seorang suami sebagai Qowwam (pemimpin) berperan pencari nafkah, seorang pemimpin yang memiliki wibawa di mata istri dan putra-putrinya, sedangkan Istri dengan belaian lembut dan sentuhan kasih sayang mampu menjadikan rumah tangga sebagai madrasah buat putra-putrinya, sebagai proses kaderisasi untuk memunculkan generasi tangguh dan berkualitas.
Demikian mulia dan tingginya nilai dan tugas yang diamanatkan kepada wanita sebagai istri dan seorang ibunda di dalam memfungsikan misi dan perannya bersama sang suami dan ayahanda, merupakan proyek besar bagi terwujudnya generasi yang mampu tampil dengan gelar khalifah  di muka bumi .
Selanjutnya termaktub di dalam surat An-Nisa ayat 1, bahwa kata  “zauj “ yang dimaksud adalah Hawa [12] .
Nilai mulia wanita juga dapat dilihat dari perannya sebagai pendamping pria, pertanda kebesaran Allah SWT menjadikan manusia dari satu asal (Adam a.s) yang kemudian melengkapi pasangan untuknya seorang istri (Hawa). Dari sana berawal proses penciptaan lahirnya anak manusia  sebagai asal muasal kejadian manusia yang kemudian menjadi titik tolak  berlakunya hukum sosial dalam Islam.
Perhatian al-Qur’an terhadap wanita dan permasalahannya sangat nampak pada pengangkatan kewanitaan, baik pada aspek figur dan kriterianya maupun aspek masalah-masalah yang dibahas; demikian banyak al-Qur’an menyebut kisah-kisah wanita yang berperan sebagai figure keteladanan seperti Asiah istri Fir’aun, Zainab binti Jahsyin istri Rasulullah saw, kisah ketegaran istri Nabi Ibrahim as, kisah fitnah terhadap Ummul Mu’minin Aisyah. Sebaliknya wanita-wanita berdosa yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian dan kesejahteraan hidup, seperti istri Nabi Nuh dan Nabi Luth, istri Abu Lahab.
Bahkan al-Qur’an memberikan penamaan khusus kepada nama sebuah surat al-Qur’an dengan sebutan an-Nisa’ (para wanita); di dalamnya dijelaskan tentang wanita yang memerankan penebar kebajikan bagi kehidupan dan hokum-hukum yang terkait dengan kewanitaan.
  
Wanita Dalam Hadits Nabi saw.
 Sebagaimana dalam al-Qur’an, hadits nabi saw sesuai fungsinya sebagai penafsir dan pemberi penjelasan al-Qur’an, mengangkat wanita sebagai makhluk Allah yang menempati posisi yang tinggi. Antara lain dapat dicermati dengan seksama hadits Nabi saw tentang asal muasal penciptaan wanita, bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam a.s dalam sabda Rasulullah saw :
( ... فإنهن خلقن من ضلع أعوج ... ) artinya: “(karena) mereka (kaum wanita) diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok” .
Hadits ini adalah hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim [13], penciptaan semacam ini merupakan tanda kekuasaan Allah SWT yang mengatur sesuatu menurut kehendak-Nya, seperti halnya proses penciptaan Adam a.s tanpa ayah dan ibu, juga penciptaan Isa a.s tanpa ayah.
Maka dapat dipahami, bahwa penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bukan bermaksud merendahkan kedudukan kaum wanita dan tidak pula menyerahkan totalitas kekuasaan kepada pria atas wanita. Sebagai bukti hadits tsb diawali dengan suatu pesan Rasulullah saw kepada kaum pria sebagai suami atau seorang ayah: (استوصوا بالنساء خيرا): “ berlaku baiklah kepada wanita” [14]

Selanjutnya esensi penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam as sebagai isyarat adanya nilai fitrah yang terkandung yaitu keterikatan dan kecenderungan antara pria dan wanita dan pertanda adanya rasa saling membutuhkan satu  sama lainnya  untuk saling melengkapi, karena keduanya berasal dari tubuh yang satu, seiring dengan ungkapan Allah SWT ( زوج  ) yang berarti teman hidup [15] , karena keduanya lahir dari  proses penciptaan-Nya.
Keunikan ciptaan wanita seperti disebutkan dalam banyak hadits Nabi saw itu menempatkan wanita sebagai makhluk Allah yang mesti disikap dengan bijak dan sesuai fitrahnya dan asal kejadiannya; karenanya wanita di satu sisi disebut-sebut sebagai zinatul-hayah (perhiasan dunia), sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
"الدنيا متاع وخير متاعها المرأة الصالحة" (رواه مسلم)
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah (HR Muslim).

ألا أخبركم بخير ما يكنز المرء المرأة الصالحة إذا نظر إليها سرته وإذا غاب عنها حفظته، وإذا أمرها أطاعته" رواه ابن ماجه وأحمد والنسائي والحاكم
Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik harta simpanan seseorang? Yaitu wanita sholihah,jika ia memandangnya menyenangkannya, jika ia tidak berada di depannya ia peliharanya, jika ia memerintahkannya ia menataati” HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad, an-Nasa’I dan al-Hakim.
Tetapi di sisi lain wanita juga menjadi fitnah, sesuatu yang mendatangkan malapetaka dalam kehidupan bagi kaum pria, hal itu ditegaskan Nabi dalam haditsnya:
 ((ما تركتُ بعدي فتنةً أضرّ على أمّتي من النساء)) رواه البخاري ومسلم      [16]
“Tidak aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya atas umatku daripada wanita” (HR. Bukhari Muslim).

)وعند مسلم في صحيحه: (فاتقوا الدنيا، واتّقوا النساء، فإنّ أوّل فتنةِ بني إسرائيل كانت في النساء)[17]
Dalam riwayat Muslim: “takutlah terhadap dunia, dan terhadap wanita, karena fitnah pertama terhadap Bani Israil dahulu pada wanita”.
Dalam catatan sejarah dikenal peristiwa-peristiwa peperangan di jaman Jahiliyah yang terjadi disebabkan karena factor wanita seperti yang terjadi terhadap Kisra yang menginginkan seorang wanita namun ditolak oleh an-Nu’man[18], demikian peristiwa konflik dengan Yahudi dikarenakan gangguan terhadap wanita muslimah berjilbab yang terbuka sebagian auratnya di pasar Bani Qoinuqo’ di masa Nabi Muhammad saw [19] .
Wanita dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah saw adalah memiliki hak dan kewajiban sebagaimana kaum pria, sebagaimana Islam mengangkat prinsip persamaan antara lelaki dan perempuan, namun juga menyatakan realitas perbedaan baik fisik maupun emosi antara lelaki dan perempuan, karenanya persamaan dan kebebasan yang dimiliki kaum perempuan  direalisasi secara proporsional sesuai batas-batas yang ditentukan syariat Islam[20].
Tidak seperti yang dituduhkan oleh kaum Liberal bahwa wanita memiliki kebebasan tanpa batas dan arahan kaum pria, mereka kadang-kadang menggunakan dalil-dalil untuk melegitimasi pandangannya seperti ‘hadits’ :
)طاعةُ المرأة ندامة(

‘hadits’ tersebut adalah hadits palsu, dikeluarkan oleh Ibnu Ady dalam kitab al-Kamil 3/262, 5/262 dari Aisyah r.a dari hadits Zaid bin Tsabit r.a, Ibnu al-Jauzi (2/272) dan Imam Syaukani (129) serta al-Albani dalam Silsilah Hadits Dho’if (435) dan yang lainnya.
Seperti hadits yang lain:
((خذوا نِصفَ دينِكم من هذه الحُميراء))
Hadits tersebut juga palsu, seperti yang disebutkan dalam kitab Mirqotul Mafatih (10/565), bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Saya tidak mengenal sanadnya, juga periwayatannya dalam buku-buku hadits selain dalam kitab an-Nihayah Ibnu al-Atsir, tetapi beliau tidak menyebut siapa yang meriwayatkannya. Al-Hafizh Imaduddin ibnu Katsir, bahwa ia bertanya al-Mazzi dan adz-Dzahabi, keduanya berkata: tidak mengetahui (riwayat tersebut). As-Sakhowi berkata: disebutkan dalam al-Firdaus tanpa sanad dan tidak dengan lafazh ini, tetapi dengan lafazh (  خذوا ثلث دِينِكُم مِن بيتِ الحُميراء ) Penulis Musnad al-Firdaus mencantumkan riwayat ini namun tidak menyebutkan sanadnya. Imam as-Suyuthi mengatakan: “saya tidak menemukannya (riwayat tersebut) ”. kalaupun benar riwayat tersebut maksudnya adalah keunggulan yang dimiliki oleh Ummul Mukminin Aisyah r.a dalam hukum-hukum fiqh keluarga, bukan berarti tahrir al-mar’ah (liberalisasi kaum wanita).
Islam juga tidak memandang wanita wabagai makhluk yang serba kurang. Sebagaimana sebagian orang yang bersikap negative kepada wanita karena kekurangan yang diihat pada kaum wanita; sebahagian lagi menganggap wanita sebagi makhluk lemah dan serba kurang berdasarkan sebuah riwayat hadits :
( عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم: في أضحى أو فطر إلى المصلى (مصلى العيد) فمر على النساء، فقال: يا معشر النساء... ما رأيتُ ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن" أخرجه الشيخان.
Maksud hadits ini adalah bahwa wanita ketakjuban Nabi pada fenomena kemampuan wanita dalam mengambil hati pria, padahal pada diri mereka- secara umum- ada kelemahan. “Naqishot ‘aql berarti kurang daya ingat dalam beberapa persoalan hidup, sedangkan naqshu din ialah tidak diperkenankannya wanita melakukan beberapa ritual ibadah lantaran adanya penghalang seperti haidh dan nifas [21]. Wallahu A’alam bish-showab.

 Wanita dan Kepemimpinan

Pada dasarnya kepemimpinan secara umum diembankan kepada laki-laki, sebagaimana penegasan Allah SWT dalam surat an-Nisa’: 34
)الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ (النساء:34.
Kaum lelaki adalah pelindung (pemimpin) bagi kaum wanaita karena karunia Allah kepada sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian lainnya (wanita), dan karena (kewajiban) menafkahi dari harta mereka; maka wanita-wanita shalihat adalah yang tunduk patuh, menjaga diri ketika (sang suami) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka… (QS. An-Nisa: 34).
Kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita juga dijelaskan Allah SWT dalam firmanNya  ayat 228 surat al-Baqarah
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“… dan baginya (kaum wanita) memiliki hak sebagaimana ada kewajiban dengan cara yang makruf, dan bagi kaum lelaki derajat atas kaum wanita, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[22].
Namun demikian tidak ada satu teks agama yang melarang kepemimpinan kaum wanita atas kaum lelaki selain dalam hal al-walayah (kekuasaan) secara umum, seperti hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah r.a [23], Rasulullah saw bersabda:
)لن يفلح قوم ولَّوا أمرَهم امرأةً) ,وفي لفظ آخر (: ((ما أفلَح قومٌ )
“Suatu kaum tidak beruntung jika mereka mengangkat wanita sebagai pemimpin”.
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih[24], bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
 ( الآنَ هلكتِ الرجال إذا أطاعتِ النساء )
“Sekarang, binasalah kaum lelaki jika menaati kaum wanita” .
Maksud 2 riwayat hadits tersebut adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum (imamah kubra) terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Terkait dengan riwayat hadits pertama dapat disimpulkan pendapat para ulama Islam :
a-     Sebab periwayatannya adalah kabar tentang ketidakberuntungan orang-orang Persi, karena mereka memakai sistem kerajaan yang mengharuskan mengangkat putri pemimpinnya yang meninggal sebagai penggantinya, padahal selain putrinya masih banyak kaum pria yang lebih pantas menjadi pemimpin.
b-     Kalau ada ulama mengatakan yang menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab, tetapi ada juga ulama yang berpendapat lain seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang menegaskan pentingnya perhatian kepada sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits agar tidak menjadi seperti kaum al-Haruriyah dan Khawarij yang cenderung tekstualis ekstrim.
c-     Jika hadits ini dipahami dengan keumuman lafazh saja maka bisa saja dikatakan bertentangan dengan ayat yang mengkisahkan ratu Bilqis yang adil dan cerdas.
d-     Para ulama sepakat bahwa wanita dilarang memegang al-walayah al-kubra atau al-imamah al-uzhma, yang dalam hadits ditunjukkan dengan kata ”wallau amrohum”. Namun ada juga ulama yang mengqiyaskan (menganalogi) imamah kubra dengan kepala negara. Singkatnya mereka berbeda pendapat dalam penetapan wanita sebagai kepada negara atau kepada daerah. Hal ini terbuka untuk medan ijtihad.
e-     Pembicaraan wanita menjadi menteri atau tugas-tugas lain di luar pembicaraan khilafiyah ulama diatas. Umar bin Khthab pernah mengangkat Syifa binti Abdullah al-’Adawiyah menjadi Kepala Bidang Urusan Pasar.
f-      Kedudukan seperti Indira Ghandi, Margaret Tatcher atau Golda Meir di Israel tidak dapat dikatakan penguasa kaum secara umum, sebab mereka hanya pimpinan dari partai dan kelompoknya (dalam perspektif demokrasi modern), karena masih banyak yang dapat menentang dirinya sebagai pemimpin[25] .

WANITA DAN SENI (DALAM PANDANGAN ISLAM)


Pesona wanita sejak dulu hingga sekarang sebetulnya tidak pernah berkurang atau bertambah, hanya tentu saja pada jaman sekarang peranan wanita yang lebih bervariasi dalam pola kehidupan masyarakat, membuat wanita semakin menonjol untuk dibicarakan dan dibahas (terutama oleh kaum lelaki). Membicarakan wanita tidak bisa terlepas dari bentuk tubuh, seksualitas, serta intelektualitasnya.
Nampaknya akan terlihat aneh apabila menggambarkan seorang wanita tanpa tambahan komentar khusus mengenai bentuk tubuh ataupun paras wajahnya. Walaupun begitu dari abad ke abad, dari jaman kecantikan khas Nefertiti (permaisuri raja Mesir “Fir’aun") hingga jaman yang sering dianggap sebagai abad “Internet” ini, wanita selalu di anggap sebagai makhluk yang menyimpan berjuta misteri, terkadang terlihat menarik untuk diraih, namun sulit untuk ditaklukkan.

Bahkan yang lebih menunjukkan kekuasaan kaum wanita adalah dunia mode, wajar-wajar saja seorang wanita yang bersikap tomboy, malahan untuk orang-orang tertentu sifat ini dianggap menggemaskan dan menarik untuk disimak. Sebaliknya coba saja bila seorang laki-laki yang bersikap kewanita-wanitaan bukan sikap simpatik yang akan dia dapatkan melainkan cemoohan dan pandangan negatiflah yang menghampirinya. Mode-mode pakaian dari dulu hingga sekarang selalu dikuasai oleh pemenuhan selera berpakaian kaum wanita, bahkan kemudian timbul istilah unisex untuk beberapa model baju tertentu yang inspirasi dasarnya dari busana laki-laki yang kemudian divariasi se hingga menjadi busana wanita.

1 Aurat Polemik Seni
Berbicara seni ala Barat adalah berbicara batasan didalam Islam. Dengan demikian, menurut Islam, seni tidak bebas nilai. Di dalam Islam, seni diikat oleh aturan yang telah final. Ikatan tersebut tidak linear dengan falsafah liberalisme yang menjadi landasan epistemologi Barat dalam memandang seni. Liberalisme mengajarkan bahwa manusia adalah pusat, segala-galanya, dan tidak diikat oleh wahyu (antroposentris). Tidak heran, jika ideologi-idelogi modern produk Barat semisal HAM, demokratisasi, gender equali ty, kebebasan berekspresi, dan lain-lain adalah ideologi-ideologi yang berpusat kepada kemanusiaan.
Jadi, sebenarnya permasalahannnya telah sangat jelas. Meskipun dengan dalih seni, tetapi aurat yang diekspolitasi untuk mengeruk limpahan materi dan membangunkan syahwat pria tetaplah aurat dan hukumnya haram. Aurat dan penghinaan Nabi tetaplah aurat dan penghinaan. Ia tidak bisa dijustifikasi dengan dalih seni, keindahan, dan kebebasan.

Kaidah fiqih mengajarkan bahwa menghukumi sesuatu adalah dengan substansi dan isi, bukan dengan kulit dan na ma (al-'ibrah bi ‘l maqâshid wa ‘l musammayyât la bi ‘l mazhâhir wa ‘l asmâ`/al-`umûr bi maqâshidiha). Jika Islam melarang sesuatu, wasilah-wasilah yang mendukung pengharaman tersebutpun dilarang (an-nahyu `an syain nah yun bi wasâ`ilihi/ ma yufdhî ilâ ‘l harâm fa huwa ‘l harâm). Hal-hal yang halal telah jelas, dan hal-hal yang haram telah jelas. Allah hanya menghalalkan hal-hal baik saja (thayyibât). Sedangkan hal-hal yang bisa mengakibatkan kehancuran, eksploitasi wanita, zina, dekadensi moral, keru sakan generasi, dan lain-lain adalah hal-hal yang diharam kan oleh-Nya (QS. Al-‘A’raf : 157).
Pandangan seperti ini tidak lantas menjadikan seni sebagai hal yang akan "dikerangkeng" oleh Islam. Karena terbukti, dalam masa kosmopolitan peradaban Islam, seni Islam berkembang dengan sangat menakjubkan. Namun, seni tersebut tetap dibatasi oleh akhlak Islam yang taken for granted. Untuk itu, patung, lukisan telanjang dan lain-lain, tidak pernah berkembang dalam tradisi seni Islam sepanjang empat belas abad. Tradisi ini baru berkembang dan dijustifikasi dengan dalih seni—pada masa sekarang saja. Setelah ekspansi Barat yang jor-joran kepada seluruh ranah kehidupan modern umat Islam.
Seni Islam adalah seni yang diwarnai oleh ruh "Sesung guhnya Allah Maha Indah, Dia menyukai keindahan" (HR. Muslim). Bahkan, dibalik semua itu, Al-Quran mengajak manusia untuk merenungi seni maha indah dalam bentuk kumparan semesta alam tumbuhan, binatang, antariksa yang hanya diciptakan oleh Allah. Inilah seni yang sebenarnya, indah, memberi hiburan jiwa, dan bisa menjadikan sebuah peradaban maju.
Dalam "Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyyah baina ‘l Ashâlah wa ‘l Mâ`ashirah, "Yusuf Qardhawi menyarankan sebuah kaca mata pandang yang harus kita tolak, yaitu justifikasi (tabrîr). Pandangan seperti ini biasanya ingin menjustifikasi re alitas yang menyimpang dari ajaran Islam dengan meng gunakan berbagai dalih. Terlebih lagi, kita tidak bisa mene rima jika justifikasi tersebut justru menggunakan teks-teks Al-Quran dan hadits yang menyalahi kaidah-kaidah bahasa Arab dan konsensus universal umat Islam (ijmâ`) selama ratusan abad. Sehingga, dengan pisau pandangan seperti ini, yang haram bisa menjadi halal dan yang benar bisa menjadi salah.
Hal-hal yang terjadi pada dasawarsa sekarang ini tiadalain menunjukkan bahwa pemikiran, politik, ekonomi, negeri, agama, peradaban, seni dan lain-lain. Kita masih diduduki oleh bangsa lain. Sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Khaldun, bangsa yang diduduki adalah bangsa yang kalah. Ia selalu mengikuti segala model bangsa yang menduduki dan menang. Sebagai sebuah kekuatan hegemoni yang besar, ranah-ranah tersebut ingin dinetralkan, diliberalkan, direlatifkan, dan disekularkan dari sebuah nilai, ideologi, dan agama. Maha Benar Allah ketika Dia berfirman bahwa manusia akan menjadi sangat arogan jika mereka merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak merasa butuh terhadap bimbingan wahyu.


2 Simbol Kecantikan
Dalam tulisan ini yang akan diuraikan adalah tipe-tipe wanita yang dianggap mempunyai kharisma dan ciri khas tertentu, sehingga sering dianggap sebagai simbol kecantikan yang berasal dari sekitar abad X hingga abad XIV Masehi. Namun toh tetap relevan hingga saat ini.

Museum Mpu Tantular sesungguhnya perlu berbangga hati karena mempunyai 4 (empat) model atau tipe kecantikan wanita yang masing-masing mempunyai kekhasan sendiri-sendiri.
Yang pertama adalah kecantikan yang klasik, anggun, intelektual. Wanita tipe ini biasanya tidak mempunyai warna kecantikan yang amat menonjol, namun biasanya dari pancaran matanya serta gerak dan lekuk tubuhnya yang luwes dan penuh kelembutan akan memberikan ketenangan bagi yang berdekatan dengannya. Sehingga seolah-olah mereka digambarkan rapuh dan ringkih, padahal sebetulnya tidak begitu.
Contoh tipe ini adalah Prajnaparamita. Patung koleksi Mu seum Mpu Tantular sebenarnya merupakan replika, sedangkan aslinya menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta. Prajnaparamita adalah wujud antropomorpik dari pustaka (kitab keagamaan Buddha). Selain itu Prajnaparamita juga dianggap sebagai pancaran dari Dhyani Buddha Aksobhya bahkan kadang-kadang dianggap sebagai pancaran dari semua Dhyani Buddha. Pada masa kemudian Prajnaparamita dianggap sebagai sakti dari Vajradhara (Adibuddha). Namun maksud dari pembuatan patung ini adalah untuk menggambarkan Ken Dedes isteri Ken Arok raja Singosari yang bergelar Rajasa Amurwabhumi dan memerintah dari tahun 1227 M hingga tahun 1227 M. Da lam kitab-kitab sastra Jawa kuno, memang disebutkan kecantikan dari Ken Dedes tersebut. Pada awalnya Ken Dedes adalah seorang isteri adipati Tumapel bernama Tunggul Ametung, karena daya pikatnya yang begitu besar membuat Ken Arok mabuk kepayang dan bertekad bulat untuk menjadikannya permaisuri. Akhirnya keinginan Ken Arok tercapai, setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok pun berhasil menjadikan Ken Dedes wanita yang paling berbahagia di dunia, menjadi permaisuri seorang raja yang gagah perkasa dan tampan, kaya raya (ukuran pada masa itu) mempunyai istana yang megah dan mestinya dilengkapi dengan peralatan yang serba canggih, serta memiliki perhiasan yang aduhai banyaknya, sehingga sekujur badannya dipenuhi dengan untaian mu tiara, intan, berlian dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.
Begitulah yang terlihat pada penggambaran Ken Dedes sebagai Prajna paramita, selain mengenakan pakaian yang terbuat dari kain yang halus, juga mengenakan cincin kaki gelang kaki (nupura), ikat pinggul, ikat pinggang (kali bandha), kalung (hara) kelat bahu (keyura), gelang (kankana), serta anting-anting yang terbuat dari untaian mutiara (kundala). Dalam agama budha, Prajnaparamita selain dikenal sebagai sakti Buddha tertinggi yaitu Adibud dha, juga dianggap sebagai simbol ilmu pengetahuan, karena itu dalam ikonografinya dia selalu digambarkan membawa utpala yang diatasnya terdapat pustaka, karena sebagai dewi ilmu pengetahuan, dia juga dianggap mampu mengusir kegelapan (dari ilmu pengetahuan, kebodohan) menjadi keterangbenderangan, juga dipuja sebagai dewi pembawa kedamaian, ketenangan. Karena peranannya itulah maka Prajnaparamita banyak dipuja dan menjadi sangat populer bagi pemeluk agama Buddha.
Tipe kecantikan yang kedua adalah kecantikan yang bersifat melindungi, memberikan ketenangan, rasa aman dan kasih seperti seorang ibu kepada anaknya. Tipe ini di gambarkan sebagai seorang wanita yang lembut, dan biasanya juga tidak cantik sekali, namun wajahnya nampak sabar (santha) dengan pandangan mata teduh dan bentuk tubuh yang agak tambun, mempunyai buah dada yang besar, pinggul dan pinggang lebar namun menunjukkan adanya kekuatan. Di Museum Mpu Tantular tipe ini diwakili dengan patung Parwati. Parwati adalah sakti dewa Siwa. Dikenal sebagai simbol wanita yang benar-benar mempunyai seluruh syarat terbaik sebagai seorang wanita, ibu dan istri. Selain itu Parwati juga dianggap sebagai dewi lambang kesuburan, bersama-sama dengan Siwa, mereka berdua sering digambarkan sebagai yoni (simbol wanita) dan lingga (simbol laki-laki) yang nantinya akan melahir kan kekuatan, dan kelangsungan hidup manusia.
Kecantikan tipe yang ketiga adalah tipe yang sekarang bi asa disebut agresif (dalam pengertian yang positif) mung kin sebagai gambaran watak dan sikap remaja-remaja kita saat ini, mereka tidak hanya mau menerima namun juga mampu untuk mengambil sikap dan tindakan yang tegas. Tipe ini memang sangat menarik untuk disimak, mereka selain digambarkan mempunyai bentuk badan dengan lekuk- lekuk yang sempurna (bak gitar Spanyol) luwes namun berotot juga seringkali digambarkan bersikap dinamis tanpa menunjukkan sikap kejam dan semena-mena, berwajah cantik, menunjukkan kecerdasan dari bentuk mata serta pandangannya dan menunjukkan kematangan jiwanya. Tipe seperti ini diwakili dengan patung Durga Ma hisasuramardhini, walaupun dalam penggambarannya Durga disebutkan dalam adegan kemenangan setelah berha sil mengalahkan asura yang berubah bentuk seperti kerbau yang sangat besar. Namun yang menarik dalam adegan ini tidak digambarkan Durga sebagai wanita yang kejam dan berbadan kekar kelaki-lakian, sebaliknya Durga tetap digambarkan feminim, cantik dan menarik. Hal ini jelas tertuang dalam mitologi, bahwa untuk mengalahkan asura berupa kerbau jantan yang sangat besar tersebut memang dewa Siwa telah menciptakan seorang dewi yang sangat cantik dan penuh pesona, setelah wujud dewi tadi terbentuk barulah para dewa yang lain melengkapi dengan memberikan berbagai jenis senjata yang nantinya dapat digunakan oleh Durga dalam melawan Asura. Bahkan ada beberapa kitab yang menunjukkan bahwa badan Durga juga dibuat bersama-sama oleh para dewa dengan cara menyatukan kekuatan dalam masing-masing dewa, sehingga menghasilkan makhluk yang sangat cantik namun mempunyai kesaktian yang sangat tinggi pula. Mungkin maksud yang lebih dalam dari cerita ini bisa lebih kita sederhanakan, bahwa bagaimanapunjuga kekejaman (seseorang) akan bisa terkalahkan dengan sikap yang sebaliknya yaitu kelemah lembutan namun tetap memendam kekuatan.

Mungkin gambaran cerita Durga ini bisa kita terapkan pada kehidupan kaum wanita saat ini, yaitu untuk melawan kediktatoran kaum laki-laki kita tidak harus melawan dengan kekerasan namun justru dengan menonjolkan kefe mininan kita, kita akan bisa mengalahkannya.
Tipe yang terakhir atau keempat boleh dikatakan adalah tipe kecantikan yang serba kaku, keras kepala, menunjuk kan ke-aku-an yang menonjol, bahkan dalam gerakannya terlihat keinginan untuk diperhatikan. Tipe ini juga nampak garang dan terkesan tidak bisa menyembunyikan apa yang tengah dialami, dan justru inilah daya tariknya. Tipe ini diwakili oleh patung Durga Mahesasuramardhini yang berasal dari candi Rimbi.
Sebagaimana disebutkan di atas dalam ikonografinya Durga paling sering digambarkan dalam adegan mengalah kan Asura, namun di Jawa (atau Indonesia umumnya) sangat jarang ditemukan wajah Durga yang menunjukkan dirinya sebagai seorang raksasi, sebaliknya Durga selalu di gambarkan dengan penuh kelembutan seorang wanita. Yang nampak lain adalah patung Durga dari candi Rimbi ini. Patung Durga dari candi Rimbi ini digambarkan berdiri dengan kedua kaki terbentang (pada umumnya Durga di gambarkan dalam sikap tribhangga), menyeringai sehingga memperlihatkan gigi taringnya yang tajam, mata melotot dan rambut terurai tak beraturan. Hal ini tentu saja disebabkan karena pengaruh dari aliran keagamaan yang me latar belakangi pembuatan patung tersebut, yaitu aliran Tantrayana. Tantrayana adalah salah satu aliran dalam agama Hindu yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan raja Kertanegara, yaitu akhir dari kerajaan Singosari, walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa agama Hindu yang masuk di Indonesia sudah menunjukkan adanya pengaruh Tantris tersebut. Salah satu dari ciri aliran ini adalah menonjolnya peranan dewi atau sakti (pendamping dewa yang mempunyai ciri dan kekhasan serta kekuatan sama dengan dewa yang didampingi) dewa dalam alam pikir mereka, karena para penganut Tantris berpendapat bahwa persatuan antara laki-laki dan perempuan inilah yang akan menghasilkan kekuatan yang akan membawa ke nirvana. Selain itu ciri aliran ini juga terlihat dalam ikonografi beberapa dewa dan dewi, dalam penggambaran dewa dan dewinya seringkali dalam bentuk krodha, kemarahan, bahkan ada beberapa yang dilengkapi dengan atribut tengkorak, ada pula yang dalam ikonografinya terlihat dalam bentuk yang sangat berlebihan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa para seniman masa kebuda yaan Hindu-Buddha biasa disebut seniman keagamaan, karena mereka membuat patung dewa berdasarkan pada aturan-aturan tertentu yang sudah tertulis dalam kitab-ki tab keagamaan mereka. Kitab-kitab tersebut pada awal nya hanya berupa sebentuk puji-pujian kepada dewa, kemudian dewa-dewa yang tertulis didalam kitab tersebut di wujudkan dalam bentuk patung yang disebut antropomor phik (mewujudkan dalam bentuk manusia). Pada beberapa peninggalan kuno di Jawa Tengah aturan-aturan yang ada didalam kitab keagamaan masih relatif ditaati, lain hal nya dengan periode Jawa Timur. Banyak sekali paraseniman yang telah menambah ataupun sedikit mengganti atribut dewa dengan tujuan untuk lebih mendukung fungsi dan peranan dewa tersebut, hal ini tentu saja bisa dihu bungkan dengan menjamurnya kebiasaan para raja di Jawa Timur yang menganggap dirinya adalah titisan dewa tertentu sebagai sarana untuk melegitimasi diri.
 Seniman bagaimanapun juga tetap seniman, yang mengagungkan karya seni. Dalam berkarya mereka tidak akan bisa berhasil maksimal apabila diharuskan memenuhi ber bagai macam syarat, bagaimanapun kreatifitas mereka sebagai jati diri tetap akan muncul dalam hasil karya mereka. Begitu pula dalam melukiskan atau membuat patung dewi, secara tidak sadar mereka akan membayangkan watak dan peranan dewi tersebut. Dengan merangkai baya ngan itu, maka mereka dapat dengan lancar membentuk wujud dewi tersebut dalam pahatan mereka, tanpa melen ceng jauh dari aturan yang berlaku. Sebagai contoh; Parwati dalam masyarakat Hindu dianggap sebagai prototipe wanita yang penuh sifat keibuan, lembut, dan bahkan ke mudian dianggap sebagai dewi simbol kesuburan. Biasa nya orang akan lebih mudah membayangkan sesuatu dengan mengambil perbandingan dari apa yang sering terlihat sehari-hari. Tidak mungkin bukan seorang simbol kesuburan digambarkan berpinggang ramping, dan berotot ten tu saja untuk memperjelas peranan Parwati, dia digambar kan dengan pinggang yang lebar dan sedikit gemuk, sederhana namun tetap menonjolkan daya tariknya sebagai seorang wanita. Tentu saja lebih mudah bagi seorang seni man menggambarkan dewi kesuburan dengan membayangkan wajah ibunya, pada umumnya wanita yang sudah pernah melahirkan akan terlihat dari perubahan bentuk tu buhnya namun toh perubahan itu tidak selalu mengurangi kecantikannya. Demikian juga halnya pada penggamba ran Prajna paramita, Durga Mahisasura mardhini pada umumnya dan khusus di candi Rimbi. Abad demi abad telah berlalu, namun toh keempat tipe kecantikan wanita tersebut masih saja tetap ada dan masing-masing tipe mempunyai daya tarik yang berlainan. Seperti itu pengambaran aurat-aurat wanita yang dijadikan simbol kecantikan, dengan dalih sebagai nilai seni tersendiri.