Rabu, 16 Maret 2011

MENYOAL KEMBALI MASALAH HISAB DI INDONESIA

Setiap menjelang bulan Ramadhan dan Syawal umat Islam Indonesia dihadapkan pada problema penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan, sebab  kewajiban puasa adalah kewajiban yang didasarkan pada bulan qomariyah yang bisa berumur 29 atau 30.

Menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan sangatlah penting karena memiliki konsekuensi kewajiban pelaksanaan puasa, sebab awal bulan Ramadhan yangmerupakan awal kewaiban puasa dan awal bulan Syawal yang mengakhiri kewajiban puasa, bahkan haram hukumnnya berpuasa ditentukan dengan munculnya bulan sabit yang disebut dengan hilal.

Penentuan awal kewajiban puasa dengan munculnya hilal bulan Ramadhan begitu juga akhir kewajiban puasa dengan munculnya hilal bulan Syawal berlandaskan kepada sebuah hadist yang disepakati   kebenarannya  oleh seluruh ulama hadist dari berbagai jalur periwayatan yang dapat kita temukan pada buku-buku referensi tingkat pertama ahlus sunnah atau syiah. Dengan sedikit perbedaan pada bunyi teksnya. Yaitu hadis yang berbunyi :

صومو لرءيته و افطرو لرءيته, و انّ غمّ عليكم فاكمل العدّة ثلاثين
 
Artinya : Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah ( Berlebarannlah) kalian karena melihat hilal. Dan jika dalam keadaan mendung, maka  sempurnakannlah 30 hari.

Namun kemudian di Indonesia, sekali lagi hanya berlaku di Indonesia, terjadi perbedaan pendapat antara ulama dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah, dimana kelompok pertama memahami kata melihat yang disebutkan dalam hadist Nabi itu apa adanya, tanpa merasa perlu untuk di tafsirkan dan di takwil, sedangkan Muhammdaiyah mungkin dengan sangat pembaharuannya berpendapat, bahwa melihat itu ada dua : 1. Ru’yah Basyariyah yakni melihat dengan mata sedangkan yang kedua 2. Ru’yah Ilmiyah yakni melihat dengan ilmu pengetahuan.
 
Inti pada pendapat mereka adalah, bahwa tujuan melihat hilal itu adalah supaya kita tahu, bahwa sudah masuk bulan baru, baik Ramadhan atau Syawal dan untuk mengetahui perubahan bulan tidak hanya dengan satu cara, yakni dengan penglihatan mata saja, melainkan bisa juga kita mengetahui perubahan bulan itu dengan rumus- rumus yang berlaku di ilmu astronomi, meteorlogi dan geofisika, shingga dengan demikian tidak diperlukan lagi untuk keharusan melihat dengan mata. Metode ini dikenal kemudian dengan metode hisab( baca; Perhitungan)
 
Marilah kita coba untuk menelaah dan mengkritisi teori dan metode dua ini :
  1. Metode ini adalah salah satu dari bukti inkonsestensi Muhammadiyah sebagai pengikut Ahlussunnah Wa Jamaah yang mana salah satu prinsipnya adalah bertaqlid kepada salah seorang dari empat Imam Mazdhab ; Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali, sementara tidak ada seorang pun dari mereka yang mengunakan metode tersebut,  semuanya menfatwakan dengan Ru’yah Basyariyah
  2. Pada saat sekarang pun tidak ada seorang pun dari ulama di dunia baik Mesir ataupun Saudi Arabia yang mengunakan metode tersebut.
  3. Metode hisab bertentangan dengan kelanjutan hadiat Nabi yang disebutkan diatas, sebab kelanjutan hadist tersebut. Jika kalian tidak dapat melihatnya karena terhalang oleh mendung atau yanag lainya, maka sempurnakannlah hari nya menjadi 30, artinya bulan Sya’ban itu bisa 29 atau 30 hari disaat memang belum waktunya muncul atau sudah waktunnya muncul namun tidak terlihat karena mendung dan ketiadaannya tidak akan berpengaruh, sebab jika memang sesuai teori malam itu sudah seharusnya muncul, maka besok berarti tanggal 1.
  4. Sesuai metode hisab, jika hilal bulan Ramadhan diprediksikan muncul pada malam hari ke 30 atau siang hari ke 29, maka besoknya ditetapkan sebagai tanggal 1 Syawal, sementara menurut metode ru’yah karena pasa saat maghrib tidak terlihat hilal, maka sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadist di atas, besoknya adalah masih tanggal 30 dan wajib puasa.
  5. Metode hisab bertentangan dengan prinisip kemudahan dalam beragama, sebab ia tidak akan bisa diketahui oleh banyak orang, ia hanya bisa dipergunakan oleh sebagian kecil orang yang punya pengetahuan yang cukup tentang hisab, padahal kewajiban puasa adalah untuk seluruh orang penentuan waktunnya seharusnya adalah mudah seperti penentuan waktu-waktu lain, misalnya waktu sholat yang lima dalam sehari semalam atau sholat gerhana misalnya, maka tidak akan dibutuhkan selain indra mata dengan melihat matahari, atau bayangan matahari yang setiap orang bisa menentukan dan memahami.
  6. Ilmu yang berhubungan dengan perbintangan (nujum) tentunya bukannlah hal yang baru, namun ia telah ada sejak berabad-abad yang lalu, tapi tidak pernah ditemukan dalam refrensi klasik mereka mengunakan metode tersebut. Bahkan dizaman Rasulullah pun tidak menutup kemunginkan, bahwa sudah ada yang memahamai hal itu, minimal Nabi sendiri.
Mungkin terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan, bukankah untuk waktu sholat harian kita mengikuti jam, dan jam itu artinya mengunakan metode hisab, bukan ru’yah ? jawabannya adalah , memeng benar pada sholat mengunakan jam, namun pada dasarnnya bukan jam yang menjadi tibanya waktu sholat, namun matahari dan fajar, hanya saja karena fenomena terbitnya fajar untuk waktu sholat subuh , kemudia tergelincirnnya matahari untuk waktu sholat dzuhur dan seterusnya itu adalah fenomena yang terjadi secara tetap dan konstant, maka tidak perlu lagi untuk kita perhatikan dengan mata kita pada saat kita aka sholat setiap harinnya.
 
Hal ini menjadi berbeda dengan terbitnya hilal awal bulan qomariah, karena dia tidak konstant, dan yang kedua masih dipengaruhi oleh cuaca mendung dan sejenisnnya yang dalam hadist diberikan solusinya dengan menyempurnakan 30 hari. Jadi antara dua masalah ini tidak bisa dianalogikan menurut istilah ulama ushul antara keduannya Qiyasun Ma’al Haq. Wallahul a’alam   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar