Minggu, 20 Maret 2011

Ringkasan Sejarah Peradaban Romawi Kuno

Romawi ialah peradaban dunia yang letaknya terpusat di kota Roma masa kini. Peradaban Romawi dikembangkan Suku Latia yang menetap di lembah Sungai Tiber. Suku Latia menamakan tempat tinggal mereka ‘Latium’. Latium merupakan kawasan lembah pegunungan yang tanahnya baik untuk pertanian. Penduduk Latium kemudian disebut bangsa Latin. Pada mulanya, di daerah Latium inilah bangsa Latin hidup dan berkembang serta menghasilkan peradaban yang tinggi nilainya.
Kota Roma yang menjadi pusat kebudayaan mereka terletak di muara sungai Tiber. Waktu berdirinya Kota Roma yang yang terletak di lembah Sungai Tiber tidak diketahui secara pasti. Legenda menyebut bahwa Roma didirikan dua bersaudara keturunan Aenas dari Yunani, Remus dan Romulus.
“Menurut berita2 lama, Roma didirikan oleh Remus dan Romulus pada tahun 750. Remus dan Romulus ini anak Rhea silva, turunan Aenas –seorang pahlawan Troya jang dapat melarikan diri waktu Troya dikalahkan dan dibakar oleh bangsa Jujani”
Orang-orang Romawi memiliki kepercayaan terhadap dewa-dewa, seperti orang-orang di Yunani. Hanya saja dewa-dewa di romawi berbeda dengan di Yunani. Dewa-dewa yang dipercayai oleh orang-orang Romawi antara lain :
1. Jupiter (raja dewa-dewa)
2. Yuno (dewi rumah tangga)
3. Minerus (dewi pengetahuan)
4. Venus (dewi kecantikan)
5. Mars (dewa perang)
6. Neptenus (dewa laut)
7. Diana (dewi perburuan)
8. Bacchus (dewa anggur)
Roma berhasil menundukkan bangsa-bangsa yang tinggal disekitarnya satu persatu, baik dengan jalan kekrasan maupun jalan damai. Hingga akhirnya Roma berhasil menguasai seluruh Italia Tengah.
Sebelum itu, sekira tahun 492, Daerah Latium sebagai tempat berdirinya kota Roma dikuasai oleh kerajaan Etruskia, yang terletak disebelah utaranya sampai pada tahun 500 SM. Pada tahun 500 SM bangsa Latium memberontak terhadap kerajaan Etruskia dan berhasil memerdekaan diri serta mendirikan negara sendiri yang berbentuk republik. Maka sejak itu, Roma menjadi republik dan kepala negaranya disebut konsul yang dipilih setiap tahun sekali. Konsul selain menjadi penguasa negara juga ketua senat dan panglima besar.
Bangsa Romawi yang semula petani, setelah mengalahkan penguasa Etruskia kemudian menjadi bangsa penguasa besar dengan manaklukan wilayah yang luasa sampai ke Laut Tengah. Bangsa yang semula petani ini kemudian menjadi masyarakat kapitalis dan materialis. Selain sebagai bangsa yang suka dengan perang bangsa Romawi juga mengumpulkan kekayaan sebagai modal usaha. Mereka membali ladang-ladang dan kemudian penggarapannya dilakukan oleh para budak yang didatangkan dari daerah-daerah jajahan.
Penguasa Gayus Julius Caesar meluaskan wilayahnya sampai ke Jerman, Belgia, Belanda dan bahkan sampai menyebrangi selat Calis ke Inggris. Selain sebagai penguasa mutlak Julius Caesar juga mengembangkan kalender baru yang disebut kalender Julian. Kelender ini terus dipakai sampai kemudian diperbaharui oleh Gregorius yang kemudian dikenal dengan dengan kalender Gregorius. Julius Caesar dibunuh oleh Brutus dan Casinus yang menginginkan suatu pemerintahan berbentuk Republik. Akan tetapi, cita-cita kedua orang itu tidak berhasil dan tetap mempertahankan sistem pemerintahan diktator. Anak angkat Julius Caesar bernama Oktvaianus kemudian dapat menguasai Romawi kembali dan berkuasa secara diktator.
Dalam kekuasaannya, Oktavianus banyak dikelilingi orang-orang pandai sehingga ia dapat berkuasa cukup lama. Oleh senat Oktavianus diberi gelar “Augustus” yang artinya “Yang Maha Mulia”. Dengan stabilitas pemerintahan pada masa Kaisar Octavianus maka mulailah bidang kebudayaan mendapat perhatian.
Kebudayaan Romawi mendapat unsur-unsur pokok dari kebudayaan Etrusia dan Yunani. Hal ini berarti kebudayaan Romawi merupakan hasil perpaduan dari kebudayaan yunani dan Etrusia, tanapa ada unsur-unsur dari kebudayaan romawi sendiri.
Pada masa Octavianus, orang-orang Romawi melihat sesuatu dari sudut kegunaannya. Pandangan hidup bangsa Romawi ini memberikan warna pada kehidupan agama. Tepatlah apa yang diungkapkan oleh Cicero, bahwa agama bagi mereka bukan untuk mendidik manusia kepada kebajikan, melainkan manusia sehat dan kaya. Dengan pandangan hidup yang praktis ini menjadi ciri utama orang-orang Romawi.
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, bangsa Romawi bukanlah pencipta teori-teori, tetapi pelaksana teori yang telah ada sejak zaman Yunani. Dengan ini mata rantai jang seakan-akan putus dalam perkembangan ilmu pengetahuan menjadi tumbuh kembali. Bila sarjana Yunani adalah ahli teori, maka sarjana Romawi adalah ahli praktek.
Masa Octavianus merupakan masa penyempurnaan seni dan budaya Romawi. Pengaruh budaya Yunani mulai masuk dengan kuatnya sejak tahun 146 SM bersamaan dengan usaha bangsa Romawi melakukan penaklukan di Laut Tengah. Selama kekuasaan Romawi, seni Romawi disebarkan ke Eropa dan sekitar Laut Tengah.
Seni Romawi sebenarnya merupakan pencampuran dua unsur seni budaya, yaitu Romawi yang merupakan daerah kekuasaan Etruskia dan seni Yunani. Pada hekakatnya budaya ini bukan berasal dari rakyat biasa melinkan dari golongan bangsawan. Golongan seniman besar, seperti yang terdapat di Yunani di Roma tidak ada. Justru bangsa Romawi mendatangkan seniman-seniman dari Yunani. Oleh karena itu, pengaruh Yunani di Romawi sangat kuat. Politik maupun seni dan budaya Roma di bawah bangsa Etruskia. Dengan begitu seni Romawi pada dasarnya adalah pencampuran unsur-unsur budaya Etruskia dan Yunani yang kemudian menjadi seni budaya baru.
Orang Romawi senang menciptakan sesuatu secara besar-besaran karena mereka suka sesuatu yang megah, mewah, dan monumental, serta menarik perhatian. Semua hasil karya budaya terutama karya seni rupa, baik berupa seni bangunan, seni patung atau relief, maupun seni lukisnya dibuat serba besr, megah, dan penuh hiasan. Orang-orang Romawi menciptakan karya teknik bangunan yang menggumkan, seperti bangunan saluran air (aquaduct), jembatan, gedung besar untuk balai pertemuan dan pasar, bangunan untuk olahraga dan pentas seni (thermen, theater, amphitheater). Selain bangunan diatas, juga terdapat banguan kuil untuk persemayam dewa. Orang Romawi melanjutkan pengetahuan orang Yunani antara lain bangunan dengan kontruksi lengkung untuk membuat ruangan-ruangan menjadi luas.
Bangunan atap kubah untuk pertama kali diciptakan kurang lebih tahun 30 SM untuk bangunan Thermae di Baaie. Mereka juga membangun bangunan umum seperti jalan raya. Jalan raya yang terkenal adalah jalan Via Apia.
Rumah-rumah dewa atau kuil yang dibangun memiliki ukuran besar. Kuil-kuil yang berukuran besar tersebut antara lain Tempel Jupiter (abad ke-6 SM), Appolo dan Venus di Roma. Untuk setiap bangunan kuil tersebut di gunakan tinga-tiang penyangga. Batang tiang penyanggga atap menggunakan menggunakan kepala tiang dengan ciri-ciri Yunanni seperti Doria, Ionia, dan Korinthia.
Bangsa Romawi juga ahli dalam pembuatan patung terutama patung setangah dada atau potret. Bentuk wajah dibuat dengan sangat teliti, sedangkan tubuh dan lainnya lebih sederhana. Kecakapan membuat patung ini berhubungan dengan kebiasaan keluarga-keluarga terkemuka bangsa Romawi yang senang membuat patung nenek moyang dalam jumlah banyak dan sangat teliti. Biasanya patung nenak moyang disimpan di rumah dan ditempatkan dalam satu ruangan khusus yang disebut Atrium. Atrium ini juga dilengkapi dengan altar.
Orang-orang Romawi dalam membuat patung memiliki kebiasaan yang sama dengan bangsa Yunani. Dalam membuat patung, orang-orang Romawi selalu mematungkan tokoh-tokoh penguasa, tokoh-tokoh politik, dan cendikiawan. Banyak sekali tokoh penguasa, tokoh politik dan cendikiawan yang dijadikan sebagai latar dalam membuat patung seperti wajah tokoh Julius Caesar, Agustus, Tuchidides, Demostenes, Caracalla, dan lainnya. Gambar wajah para tokoh ini selain dipatungkan juga dilukiskan pada mata uang logam.
Bangsa Romawi juga senang pada keindahan rumahnya. Dinding bagian dalam rumah dihias dengan lukisan untuk memberikan kesan luas. Kegiatan memperindah dinding ini biasa pada dinding rumah dengan cara melukis pemandangan alam dan bangunan-bangunan rumah yang seolah-olah terlihat dari jendela. Kegiatan melukis pada dinding-dinding rumah yang dilakukan oleh orang-orang Romawi ternyata meniru kebiasaan bangsa Yunani. Dengan demikian melukis Cara melukis yang dilakukan oleh orang Romawi memdapat pengaruh basar dari Yunani. Dari seni melukis pada dinding ini banyak ditemukan peninggalan-peninggalan yang merupakan hasil kebudayaan masyarakat Romawi. Salah satu dari sekian banyak peninggalan kebudayaan ini adalah peninggalan lukisan didinding rumah yang terdapat di Pompeii. Peninggalan lainnya terdapat di Roma yang menggambarkan pengantin perempuan dan teman-temannya sedang mempersiapkan upacara perkawinan. Selain pada dinding rumah, seni lukis juga ditemukan pada mangkuk, jambangan, piring dan tempat bunga.
Bangsa Romawi yang senang membuat bangunan monumental menyebabkan bangsa ini kaya dengan hasil-hasil bangunan berupa monumen dan kuil. Monumen yang dibuat oleh bangsa romawi berupa pintu gerbang kemenangan atau tiang kemenangan. Bangunan monumen ini digunaakn untuk memperingati suatu peristiwa sejarah. Pada banguan monumen itu diberi relief yang menggambarkan peristiwa kemenangan. Peninggalan seni monumen ini terdapat di Roma dan dibeberapa daerah jajahan Romawi.
Perubahan ketatanegaraan Romawi dari republik ke bentuk kekaisaran tidak mengendurkan semangat dan perkembangan budaya orang-orang Roma untuk mendirikan bangunan berupa bangunan monumental. Hanya saja, apabila pada masa republik pendukung seni budaya dilakukan oleh para bangsawan. Namun, setelah menjadi kekaisaran, yang mendukung seni budaya adalah golongan istana. Sejak kaisar Agustus, seni budaya elbih cenderung mejadi seni kuna yang berkiblat pada Yunani.
Setiap kaisar yang berkuasa di Romawi selalu meninggalkan seni budaya beruapa bangunan monumen. Kebiasaan yang dilakukan oleh kiasar-kaisar ini dilakukan sebagai sarana untuk menunjukan jasanya kepada negara. Maka sejak kiasar-kaisar ini berkuasa, banyak sekali didirikan bangunan besar dan megah dengan menggunakan bahan dari marmer.
Peninggalan seni bangunan Romawi pada masa kekaisaran ini jumlah sangat banyak. Banguan-banguan monmen tersebut antara lain:
1. Kuil Zeus yang didirikan di Olympia.
2. Kuil Jupiter Heliopalitanus di ba’albek (syria)
3. Pantheon merupakan sebuah kuil yang kemudian digunakan untuk gereja.
4. Mousoleum di Roma yang didirikan pada tahun 175 SM.
Mousoleum merupakan bangunan yang berupa makam yang indah. Pada sisi dalam ruang Mousoleum dihiasai ddengan berbagai ornamen yang indah.
5. Teater di Pompeii, solona, dan Asperados.
6. Amphiteater
Amphpiteater merupakan perpaduan dua buah teater yang dipergunakan untuk pertunjukan mengadu benteng dan untuk perkelahian gladiator, tempat duduk penonton berkeliling, semakin kebelakang semakin tinggi. Amphipater pada masa kaisar Vespasianus (695 SM) dipergunakan untuk peragaan perang-perangan seperti di laut bebas dan Circus (sirkus), tempat untuk berpacu kuda yang menarik kereta beroda dua.
7. Thermen
Merupakan tempat pemandian dengan ruang-ruang mandi berair panah, berair hangat dan dingin.
8. Bangunan istana
9. Gerbang kemenengan
10. Tiang kemenangan
Pada masa Gothik (100 – 1400 M), kebudayaan Romawi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama kristen. Agama kristen atau Nasrani sebenarnya telah berkembang sejak jaman pemerintahan Tiberius. Agama ini disiarkan oleh Yesus (Isa) dari nazareth, yang dilahirkan di Palestina. Agama Kristen ini berbeda dengan kepercayaan rakyat Romawi yang poltheis. Agama Nasrani memiliki kepercayaan monoteis. Dengan pertimbangan-pertimbangan politik dan kemanan negara, Tiberius menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus pada tahun 33. Tetapi kematian Yesus ini tidak berarti agama Kristen lenyap dari kehiduapan masyarakat Romawi, malahan sebaliknya.
Setelah Yesus atau Nabi Isa disalib dibukit Gologota, agama kristen berkembang sampai Mesir, Syria, Asia Kecil, dan ke Roma. Hampir selama tiga abad para pengikut agama Kristen dalam ketakutan dan dikejar-kejar oleh penguasa Roma. Pada tahun 395 agama kristen ditetapkan sebagai agama negara. Dari masyarakat pemeluknya lambat laun timbul suatu bentuk kelompok kegerejaan yang disusun menurut organisasi-organisasi yang ada di Imperium Romanum (penguasa Roma).
Periode Gothik seni Kristen mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh perpindahan pemerintahan dari Konsatantinopel ke Byzantium. Kekaisaran romawi mengalami perpecahan menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur. Romawi Barat mengalami keruntuhan tahun 335 M.
Ketika penguasa Roma masih memusuhi para pengikut agam kristen, di Roma sendiri secara sembunyi-sembunyi berkembang seni Katamba. Sejak saat itulah lahir seni Katakomba yang meruapakn tanda lahirnya seni kristen awal. Katakomba sendiri merupakan kuburan-kuburan bawah tanah.
Kemudian dalam masyarakat Romawi pada masa Gothik ini selalu melakukan kebiasaan untuk berkumpul di ruangan terowongan dengan tujuan mengadakan kegiatan agama. Dari seringnya diadakan perkumpulan, kemudian berkembang kebiasaan masyarakat untuk menghiasi dinding dengan motif jaman kuno. Motif-motif klasik yang digambar dalam dinding-dinding terowongan ini, kemudian tergeser oleh perkembangan motif-motif modern atau baru. Motif-motif yang baru ini biasanya berbentuk manusia dan binatang yang digambarkan secara simbolik untuk kepentingan agama kristen. Karya seni kristen awal ini anatara lain lukisan-lukisan kristus sebagai “gembala yang baik”. Pada umumnya yang mengembangkan seni Katakomba ini adalah bukan seniman. Bagi mereka yang erpenting adalah dapat mengungkapkan arti dan ide melalui lukisan dan sebagai bakti mereka kepada agama kristen. Namun, justru “seniman-seniman” Katakomba ini menjadi pelopor seni nonrelistik pada abad pertengahan.
Ketika gereja mengalami kemerdekaan kembali pada abad ke-4, kemudian agama kristen dijadikan agama resmi, mulailah perkembangan seni banguan gereja. Pada masa itu, para arsitek membangun gereja dengan menggunakan konsep dasar seni bangunan basilika bangsa Romawi, yaitu suatu bangunan untuk pertemuan-pertemuan umum berbentuk persegi panjang. Perkembangan selanjutnya adalah bagunan gereja dengan menara lonceng pada bad ke-6.
Seni bangunan pada bangunan gereja adalah bangunan geraja dengan denah memusat dan berkubah serta menggunakan denah memanjang atau basilika dengan langit-langit datar atau dengan lengkung silang. Contoh seni bangunan pada masa gereja adalah bangunan gereja St.Andrea di Mantua dan gereja St.Novella di Feirence.

Kamis, 17 Maret 2011

wanita turut berperan dalam pembangunan bangsa



"Bila kita betul-betul mengurusi segala masalah wanita dengan baik
di negara kita sendiri, berarti kita sudah membuat sebuah pengabdian
yang besar kepada kaum wanita di seluruh dunia,

Mungkin saja sebagian dari nilai pegabdian ini dapat dipahami sekarang
dan mungkin juga beberapa tahun yang akan datang.
"


Rahbar : Kalian mewakili kalangan elit wanita dari seluruh penjuru negeri. Kalian menjadi bukti keberhasilan cara pandangan negara Islam dan Islam terhadap wanita. Iran tidak pernah memiliki elit wanita sebanyak ini selama periode pemerintahan zalim dan thagut. Saya mengucapkan ini dan bersikeras menekankan masalah ini. Jumlah periset, dosen, cendikiawan, pemikir dan penulis, sastrawan, penyair, seniman, penulis cerita dan pelukis wanita lebih banyak jumlahnya dari periode pemerintahan thaghut. Yakni, sebuah periode bernama pembelaan terhadap wanita yang berusaha memberantas total hijab, kehormatan wanita dan perbedaan antara wanita dan pria. Pada periode ini mereka menganjurkan kebebasan tanpa batas, bahkan dalam beberapa kasus mereka lebih buruk dan ekstrim ketimbang yang dilakukan oleh negara-negara Eropa.

Kini Republik Islam Iran berkat hijab memiliki banyak elit akademisi, saintis, teknisi, aktivis politik, pakar budaya dan seniman perempuan.
Di masa pemerintahan thagut kita bahkan tidak punya sebagian dari bidang yang ada ini. Bila ada itu pun sangat terbatas.

Apa yang dihasilkan Republik Islam Iran dan Islam tepat berbanding terbalik dengan yang dipropagandakan mereka. Mereka ingin menghidupkan kebebasan tanpa batas yang tidak hanya terbatas pada upaya untuk mencegah pertumbuhan, spiritual dan perkembangan potensi yang dimiliki wanita, tapi juga menyibukkan mereka dengan hal-hal remeh yang tampaknya dapat menaikkan gengsi dan cara hidupnya. Berdandan dengan berbagai model dan sejumlah kesibukan seperti ini menjadi penghalang perjalanan seorang wanita meraih kesempurnaan.

Iran tidak pernah memiliki periode keemasan bagi wanita seperti yang dirasakan saat ini. Saat ini begitu banyak periset wanita, cendikiawan, pemikir, sastrawan, seniman dan aktivis politik-sosial. Kenyataan ini membuktikan cara pandang Islam terkait masalah hijab berbeda dengan kebebasan tak terbatas yang dipropagandakan Barat. Hijab dalam pandangan Islam bukan hanya tidak menghalangi wanita tumbuh dan mencapai kesempurnaan, tapi dengan menaati aturan Islam dapat menjadi landasan untuk mempercepat mekarnya berbagai potensi yang dimiliki wanita.

Petikan Pidato Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei saat bertemu dengan ribuan aktivis dan elit wanita.

Rabu, 16 Maret 2011

Nabi Muhammad Saw dan Konversi Syariat Samawi

Dari ke'tidak terbatas'an kepada ke'terbatas'an.Disaat para malaikat tenggelam dalam keindahan khusuk di kolam ibadah kepada Sang Khaliq. Dengung dzikir mereka bagai jutaan lebah mengitari sumber madu. Saat asyik menghisap manis bulir-bulir madu khidmat itu, tiba-tiba mereka dihenyakkan dengan gelegar firman Tuhan yang Maha Agung:
 
وِِِاذقال ربک للملئکة انی جاعل فی الارض خلیفة
                  
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak mengutus khalifah di muka bumi…!”
Dalam keterkejutan yang masih menggelayut dalam diri mereka karena titah Allah yang –bagi para malaikat- tiba-tiba itu, para malaikat bertanya:
 
قالوا اتجعلو فیها من یفسد فیها ویسفک الدماء
 
"Apakah Engkau hendak mengutus utusan yang akan berbuat kerusakan  dan gemar menumpahkan darah…?"
Dengan jalaliyah-Nya, Allah berfirman:
قال انی اعلم مالا تعلمون
 
“Aku Maha Tahu apa yang kalian tidak ketahui…!”
Dialogpun berlanjut meski pada akhirnya para malaikat tunduk kepada titah Sang Maha Agung dan diutuslah sang khalifah pilihan setelah terbukti bahwa ia lebih unggul dalam segala hal dari para malaikat.
Diatas adalah penggalan dari serentetan dialog antara Allah dengan para malaikat-Nya tentang pemberian otoritas kepemimpinan samawi kepada makhluk yang bernama Adam (manusia) dan untuk selanjutnya menjadi kepanjangan tangan-Nya dalam mengatur  dunia dan alam semesta.
Saat berusaha menyelami baris demi baris ayat-ayat tersebut, sebuah pertanyaan mendasar muncul : Mengapa Allah 'harus' mengutus seorang manusia sebagai khalifah untuk mengatur bumi dan alam semesta ini?. Apakah Allah, wal'iyaadzu billah, tidak mampu melakukannya sendiri sehingga Dia membutuhkan utusan?. Jika Allah mampu melakukannya sendiri tanpa halangan maka pengangkatan khalifah pengatur alam adalah perbuatan tahsil al hasil (sia-sia).

Untuk mengetahui jawabannya diperlukan beberapa mukadimah sederhana guna menuntun kita kepada inti persoalan.
Dalam hukum sebab akibat kita mengenal dua unsur utama terbentuknya satu qadhiyah (peristiwa). Dua unsur itu adalah faa'iliyat al faa'il (aktivitas pelaku) dan qaabiliyat al qaabil (potensi penderita untuk terkena aktivitas pelaku).
Sebagai contoh adalah peristiwa terbakarnya kertas. Peristiwa tersebut tidak akan terjadi kecuali karena adanya jilatan api sebagai faailiyat dan kertas yang dalam keadaan kering sebagai qaabiliyat. Jika tidak ada api maka kertas tidak akan terbakar dan  meski ada jilatan api, jika kertas tersebut basah kuyup maka kertas juga tidak akan terbakar.

Dalam hubungan antara Allah yang tidak terbatas dengan makhluk yang penuh keterbatasan juga berlaku hukum yang sama.
Allah bukan tidak mampu menurunkan syariat dan titah-Nya secara langsung kepada makhluk-Nya akan tetapi mampukah makhluk –dengan segala keterbatasan wujudnya-  menerima hal itu langsung dari-Nya yang tiada terbatas?
Kita bisa menuangkan air satu ember besar ke gelas kecil di bawahnya dengan mudah. Permasalahannya adalah: apakah gelas kecil itu mampu menampung semua air itu tanpa tumpah sedikitpun?
Karena itu, untuk mecapai tujuan penyampaian risalah-Nya, Allah menciptakan wasilah (fasilitas perantara) yang berfungsi sebagai alat konversi bagi format samawi ilahi yang tidak terbatas kedalam format ardhi (bumi) sehingga mampu difahami oleh makhluk seperti manusia dengan segala keterbatasannya.

Maka, pada hakikatnya, tugas para utusan (malaikat, nabi atau rasul) adalah sebagai wasilah konversi sabda samawi ilahi menjadi tuntunan ardhiy yang dipahami dan bisa diamalkan.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad bersabda:

لاَتَجْمَعُوْا ِاسْمِي وَكُنْيَتِي وَاَنَا أَبُوْ الْقَاسِمِ : اللهُ يُعْطِي وَأَنَا أَقْسِمُ
 
“Jangan kalian mencampuradukkan nama dan julukanku, aku adalah Abul Qasim (karena) Allah yang memberi dan aku yang membagi”.

Jadi, untuk menerima titah-Nya, manusia memerlukan penerjemah dan penjabar wahyu sehingga tujuan dari isi wahyu itu sendiri bisa tercapai. Kita menerimanya setelah mengalami konversi sehingga setelah itu kita mampu menjadikannya sebagai tuntunan hidup dan jalan kebahagiaan.
Muhammad saw. sang penghulu para utusan
Diantara nabi-nabi Allah, Nabi Muhammad saw. disebut dengan Sayyid Al Anbiya atau penghulu para nabi. Sebutan itu bukan tanpa dasar karena dalam jajaran para nabi utusan, Nabi Muhammad memikul sebuah syariat paling agung yang akan berlaku sepanjang sejarah umat manusia, bahkan alam semesta.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ الاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
 
“Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”
Secara umum, ajaran Nabi Muhammad saw. adalah konversi final bagi syariat samawi yang dibawa nabi-nabi sebelumnya. Meskipun secara khusus masih terjadi beberapa proses konversi dalam kepemimpinan atas syariat Nabi Muhammad saw.
Saya lebih memilih kata konversi mengingat inti ajaran Nabi Muhammad saw.  tidaklah bertentangan dengan risalah nabi-nabi sebelumnya bahkan membenarkan apa yang termaktub dalam kitab-kitab samawi itu. Perubahan hanya pada ushlub dakwah dan model kepemimpinan syar’i  Nabi Muhammad dan penerus setelahnya. Hal itu mengingat tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad sementara syariat samawi abadi ini akan terus berlanjut. 

Dibawah ini adalah konversi syari’at samawi terdahulu kepada pada syari’at Nabi Muhammad saw. yang terjadi dari jaman pengutusannya hingga akhir jaman:
Konversi titah samawi ilahi kedalam format ardhi secara lebih universal
Berbeda dengan syariat nabi-nabi terdahulu, syariat Muhammad saw. berlaku untuk jangka waktu yang sangat panjang yaitu hingga akhir jaman.
Jika demikian maka syariat Nabi Muhammad saw. haruslah bersifat universal dan mengandung ajaran yang menjadi solusi setiap permasalahan yang muncul sejak diturunkan hingga akhir dunia.

مال هذاالکتاب لا یغادر صغیرة ولا کبیرة الا احصها
 
“…kitab apakah ini yang tidak meninggalkan hal-hal kecil apalagi hal besar kecuali semua telah tercakup didalamnya”.

Itulah makna dari kedudukan Nabi Muhammad saw. sebagai Khatam Al Anbiya atau penutup para nabi. Yaitu Nabi dengan syariat final dan tidak ada lagi syariat setelahnya.
Sementara para nabi sebelumnya mengemban tugas risalah samawi untuk jangka waktu yang lebih singkat dan untuk umat dalam lingkup lebih terbatas.
Karena itu syariat Muhammad saw. haruslah menjadi syariat universal sebagai tonggak dan mercusuar bagi umat pada setiap jaman dan setiap tempat hingga hari akhir.

Konversi metode penyampaian wahyu samawi

Metode penyampaian wahyu yang dibawa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. cenderung mengandalkan panca indera dalam pembuktian kebenarannya. Metode tersebut mengalami perubahan pada jaman Nabi Muhammad saw. Pada masa itu penanaman keimanan kepada titah samawi lebih mengedepankan logika dalam pencapaian hakikatnya.
Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa ayat-ayat Al Quran yang berhubungan dengan keingkaran umat terhadap perintah nabi-nabi terdahulu (sebelum Nabi Muhammad saw.) kebanyakan diakhiri dengan kata:

وَأَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ
……
“…padahal kalian melihat.”

sedangkan saat berbicara tentang keingkaran umat Muhammad saw. terhadap ajarannya kebanyakan ayat diakhiri dengan kalimat:
 
….أَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ
“…apakah kalian tidak menggunakan akal?”

Karena itu mukjizat yang menyertai risalah para nabi terdahulu lebih bersifat inderawi seperti tongkat menjadi ular, laut yang terbelah, mata air yang terpancar karena pukulan tongkat Nabi Musa as, awan yang menaungi dan sebagainya.
Pada masa kenabian Muhammad saw. hal itu sudah tidak lagi relevan.

Saat itu manusia sudah sampai kepada tingkat pemikiran yang lebih mapan ketimbang sebelumnya. Maka mukjizat yang ditunjukkan Allah melalui Nabi-Nya pun berbeda. Mukjizat pada jaman itu adalah mukjizat logika yang dicerna dan dipahami dengan akal.
Tantangan Al Quran terhadap para pengingkar juga berbeda. Tantangan Al Quran tidak lagi berhubungan dengan penampakan yang menimbulkan ketakjuban panca indera saat melihat sesuatu yang khariq al ‘adah (di luar kebiasaan). Tantangan Al Quran bagai anak panah yang melesat langsung menembus ranah logika manusia. Seperti tantangan untuk membuat satu surat yang serupa Al Quran.

Serupa yang dimaksud adalah kwalitas yang sama baik dari segi fashahah (kefasihan) dan balaghah (kedalaman makna).
Tantangan Al Quran itu adalah hujjah yang kuat akan kebenaran dan kesamawian Al Quran. Karena meski masyarakat Arab pada saat itu adalah masyarakat yang mahir merangkai syair dan kata-kata indah namun mereka tidak mampu menjawab tantang Al Quran itu. Hal itu dikarenakan syair mereka hanya berisi keindahan duniawi yang semu, tanpa ruh dan hanya berisi pujian terhadap harta, wanita dan kekuasaan.
Sementara Al Quran memberikan kedalaman makna dalam setiap rangkaian kalimat-kalimat indahnya. Indah dalam susunan dan pemilihan kata-kata dan solid dalam menyampaikan hakikat-hakikat hidup dan kehidupan.
Hal itu pula yang menjadikan Al Quran sebagai mukjizat yang berlaku kekal hingga hari kiamat karena dimanapun dan sampai kapanpun akan senantiasa menjadi mukjizat selama masih ada akal diantara manusia.

Konversi dari Nubuwwah ke Imamah.

Konsekwensi dari eksistensi ajaran Muhammad saw. sebagai agama akhir jaman adalah keharusan aqliy akan adanya pelanjut dan pemelihara risalah ini.


انا نحن نزلناالذکر واناله لحافظون
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Quran dan Kami pula yang akan menjaganya”

Karena itu, pada masa kenabiannya, Nabi Muhammad telah mencanangkan sebuah konversi kepemimpinan ilahi. Konversi dari format kenabian kedalam format imamah (keimaman), dimana ketaatan kepada khalifah-khalifah pilihan Nabi (dengan ijin Allah) itu sama hukumnya dengan ketaatan kepadanya dan ketaatan kepada Allah. Setiap keingkaran terhadapnya adalah maksiat kepada Allah yang tak terampuni.


یآیهاالذین امنوا اطیعواالله و اطیعواالرسول واولی الامر منکم
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan Ulul Amri dari kalian…!”
Dalam masalah ini Rasulullah saw. bersabda :

“Aku tinggalkan bagi kalian dua warisan yang besar: Kitabullah (Al Quran) dan Itrah(Ahlul Bait)ku . Jika kalian berpegang kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat untuk selamanya. Keduanya tidak akan pernah terpisah hingga bertemu denganku di telagaku…”
Artinya, pada setiap jaman dan tempat dimana Al Quran berada maka akan ada seorang khalifah dari itrah (keluarga) Rasulullah saw. yang akan menjaga kemurniannya. Dialah sang Ulul Amri, penerus risalah samawi dan penerima amanat ilahi untuk membimbing umat ini. Meskipun orang-orang kafir tidak menghendakinya.

Konversi dari penunjukan figur kepada penunjukkan berdasar kriteria
Figur pengganti Nabi Muhammad saw.,setelah berakhir masa kenabian, telah ditentukan oleh Allah swt. melalui lisan Nabi-Nya.Nabi telah berulang kali, dan di banyak kesempatan, menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as. sebagai khalifah dan imam setelahnya. Di persimpangan antara Mekah dan Madinah, di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, Nabi saw. mengumpulkan para sahabatnya. Peristiwa itu terjadi sepulang rombongan Nabi saw. dari haji wada’ (perpisahan). Setelah Rasulullah saw. berhasil menarik perhatian seluruh sahabat yang hadir saat itu, Rasulullah menyampaikan khotbah yang cukup panjang. Inti dari khotbah itu adalah ketika Nabi bersabda (sembari mengangkat tangan Imam Ali bin Abi Thalib) : “….barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ia harus menganggap Ali sebagai pemimpinnya pula. Ya Allah, sayangi siapapun yang memperwalikan Ali dan musuhi setiap yang memusuhi (wilayah)nya…!”

Setelah itu sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab mendekati Imam Ali dan berkata: “Selamat kepadamu wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpin kaum mukmin, laki-laki maupun perempuan”.
Sebagaimana yang disabdakan Nabi, kepemimpinan umat setelahnya dimulai dari Ali bin Abi Thalib hingga dua belas orang jumlahnya.
Semua telah disebutkan nama-namanya oleh Rasulullah.
Yang terakhir dari mereka adalah Imam Mahdi as. yang dighaibkan oleh Allah untuk menjaga agar tidak diperangi oleh para pengingkar agama dan agar syariat Muhammad saw. tetap terpelihara hingga akhir perjalanannya.

Pada masa ghaibah shugra (ghaib kecil), Imam Mahdi masih melanjutkan misi konversi itu dengan memilih beberapa wakil khusus untuk penyampaian risalahnya. Para wakil khusus itu merupakan wasilah untuk mengkonversi risalah Imam yang ghaib untuk disampaikan kepada umat pada masa itu.
Secara logika, akan terjadi sebuah kekosongan dalam kepemimpinan umat pada saat Imam Mahdi as. mengalami ghaibah kubra (ghaib besar) dimana beliau dighaibkan dari umat untuk tujuan kelangsungan risalah. Masa ghaibah kubra diawali dengan wafatnya wakil-wakil khusus pilihannya.
Tapi, dengan ma’rifat laduni yang dimiliki, para Imam Ahlul Bait as. yang merupakan khalifah Rasulullah saw. mengetahui hal itu akan terjadi. Dengan ijin Allah mereka pun memilih pelaksana kepemimpinan umat pada masa ghaib Imam Mahdi dan berlalunya masa wakil-wakil khususnya. Pemilihan itu tidak lagi dengan menunjuk kepada figur tertentu tapi dengan menyebutkan kriteria kelayakan bagi wakil umat untuk memegang amanat suci itu.
Dengan demikian dimulai era fuqaha (ulama) yang akan menutup kekosongan kepemimpinan syar’i. Mereka (para ulama) akan menggali, dari sumber-sumber syariat yang valid, segala solusi untuk menghadapi problematika umat yang kian hari kian berkembang dan penuh komplikasi. Hasil dari istinbath (penggalian) itu menjadi fatwa yang mengatur mobilitas umat di semua bidang agar tetap sejalan dengan risalah Nabi Muhammad saw.

Dari apa yang telah dibahas diatas, dapat kita temukan beberapa hal penting:
Kelangsungan syariat Muhammad saw. tertumpu pada keberhasilan Nabi saw. dan para khalifahnya dalam melakukan konversi terhadap kepemimpinan dan pelaksanaan syariat abadi ini. Meskipun dalam perjalanannya banyak aral dan gangguan yang menghadang.
Perlu ditekankan dan dipahami bahwa saat kita menyebut tentang konversi yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dan para khalifahnya, hal itu bukan berarti bahwa Nabi dan para khalifah melakukan inovasi dan rekayasa syari’at sesuai keinginan dan pemahaman mereka. Karena seorang muslim meyakini bahwa setiap yang dilakukan Nabi  adalah kehendak Allah swt.
Bukankah Allah telah berfirman:
وما نیطق عن الهوی  –  ان هو الاوحي يوحي – علمه شدیدالقوی
“Dia tidak berbicara berdasar hawa nafsu. Hal itu tidak lain adalah wahyu. Yang diajarkan Tuhan yang Maha Kuat”
Jika dari yang tak terbatas menuju yang terbatas saja memerlukan wasilah konversi, maka gerakan dari yang terbatas menuju yang tak terbatas lebih membutuhkannya lagi. Karena itu dalam doa-doa yang dipanjatkan kepada Sang Khaliq, makhluk pun harus berusaha mencari wasilah konversi untuk sampai kepada-Nya. Karena itulah kita bertawasul kepada Nabi dan para khalifah pilihannya ketika kita memohon sesuatu kepada Allah swt. Selain menkonversi risalah Allah kepada manusia agar bisa dipahami, mereka juga mengkonversi doa dan permohonan kita agar membentuk formasi yang layak dikabulkan oleh-Nya. Karena itu doa ma-tsur (dengan redaksi telah ditetapkan) lebih afdhal daripada doa yang ghairu ma-tsur (disusun sesuai keinginan si pendoa). Hal itu dikarenakan doa ma-tsur adalah doa yang tarkib (susunan), pemilihan kata dan tata bahasanya telah dikonversi menjadi bahasa samawi yang malakuti. Sehingga doa itu terjamin kelayakannya untuk kita panjatkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Terpuji.

Beragama Sebagai Fitrah Manusia



Salah satu tema paling mendasar dalam teologi adalah agama itu sendiri. Logikanya adalah, bagaimana kita mengetahui ushul (prinsip) sebuah agama tanpa kita mengetahui apa itu agama sebelumnya?. Dan kenapa manusia harus beragama? Apakah beragama merupakan sebuah kebutuhan primer (mendasar) bagi setiap manusia?. Agaknya, lebih elegan jika kita membahas apa itu agama terlebih dahulu, sebelum kita membahas kenapa manusia beragama.

Menghampiri Makna Agama 

Salah satu tema paling mendasar dalam teologi adalah agama itu sendiri. Logikanya adalah, bagaimana kita mengetahui ushul (prinsip) sebuah agama tanpa kita mengetahui apa itu agama sebelumnya?. Dan kenapa manusia harus beragama? Apakah beragama merupakan sebuah kebutuhan primer (mendasar) bagi setiap manusia?. Agaknya, lebih elegan jika kita membahas apa itu agama terlebih dahulu, sebelum kita membahas kenapa manusia beragama.

Secara leksikal, kata din (agama) berasal dari bahasa Arab yang berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknis, din berarti iman kepada pencipta manusia dan alam semesta serta hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Seperti disabdakan Nabi, “Segala sesuatu menjadi dapat dibedakan melalui kebalikannya”. Begitu halnya dengan din. Dari kata din-lah maka muncul kata al-ladin, yakni orang yang tidak beragama atau orang yang tidak mengimani adanya Wujud Pencipta alam secara mutlak. Apa pun definisi yang diberikan kepada konsep agama, pasti dimengerti bahwa “kepercayaan kepada sesuatu kekuatan Mutlak atau kehendak Mutlak sebagai kepedulian tertinggi” adalah hakikat esensial konsep ini dalam semua budaya dan dalam semua variasinya.

Di dalam agama, terdapat dua dimensi yang saling berintegrasi satu dengan lainnya, yaitu;  ushul dan furu’. Ushul merupakan prinsip dalam agama dan furu’ berarti cabang merupakan bagian dari hukum-hukum dalam sebuah agama. Kemudian dimensi yang ada dalam agama terejawantah dalam bentuk aqidah dan hukum-hukum yang merupakan konsekuensi logis dari aqidah.

Pencarian adalah Fitrah
Manusia adalah makluk yang memiliki keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya. Keistemawaan tersebut berwujud fitrah untuk mengenal hakikat dan mengetahui realitas. Kata fithrah dijelaskan sebagai (baca; kecenderungan alamiah kepada) keyakinan tauhid. Sebagaimana telah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an surat ar-Ruum ayat 30
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Ayat tersebut di atas, hendak menjelaskan kepada kita apa itu fitrah. Secara eksplisit ayat tersebut menjelaskan “fitrah sebagai agama”, yakni jalan lurus yang menghantarkan manusia kepada tauhid atau penyaksian kepada Ketunggalan. Dalam hal ini, fitrah adalah sesuatu yang universal bagi manusia. Tidak ada satu pun manusia yang dapat menyangkalnya. Ia tidak hanya terbatas pada keyakinan akan ke-Esa-an Tuhan, melainkan juga mencakup seluruh ajaran dan prinsip yang benar. Kalau benar fitrah itu bersifat universal bagi manusia, lantas mengapa masih saja kita temukan orang yang mengaku tidak bertuhan ataupun beragama?

Fitrah adalah keswasenyataan yang paling jelas, karena tidak ada satu permasalahan pun yang melebihi kejelasannya. Tidak seorang pun mengingkarai hal ini. Oleh karenanya fitrah adalah salah satu yang paling jelas dan paling nyata dari sekian banyak prinsip yang pasti benarnya. Dalam ayat yang sama tersebut di atas menjelaskan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya
Dalam sebuah hadist populer (ahl ul-bait) mengatakan; “Setiap anak dilahir-kan dalam keadaan fitrah.” Ia lebih dikenal dengan kuriositas (rasa ingin tahu). Rasa keingintahuan manusia mampu mendorong manusia untuk mencari agama yang benar dan memikirkan berbagai persoalan yang esensial dalam hidupnya.
 
Di samping itu, rasa ingin tahu manusia untuk mengetahui berbagai hakikat adalah rasa ingin memenuhi berbagai kebutuhan yang ada hubungannya dengan satu atau beberapa fitrah selain fitrah rasa ingin tahu. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan (baca: fitrah akan kesempurnaan), manusia memerlukan beragam teori atau pengetahuan tertentu untuk menggapainya. Dan bila agama bisa dijadikan ‘alat pemuas’ akan kebutuhan manusia atau terdapat kekayaan terpendam di dalamnya, tentu saja manusia akan berbondong-bondong menuju agama.

Sebut saja teori gambling Pascal. Dalam upayanya menjelaskan kepada orang-orang ateistik tentang kebertuhanan dan keberagamaannya, ia berargumentasi setidaknya demikian; “Anda harus bertaruh apakah agama—dalam hal ini jelas, Kristen—benar atau salah, meskipun ‘menurut akal, anda tidak dapat mempertahankan proposisi-proposisi semacam itu.” Anda pun menerima tantangan dan menetapkan pilihan. “Mari kita timbang untung rugi dalam taruhan tentang Tuhan,” kata Pascal. “Mari kita perhitungkan kedua peluang itu. Jika Anda menang, Anda medapat segalanya; jika Anda kalah, tidak akan kehilangan apa-apa.”

Menurut M.T Misbah yazdi, sebagian ahli psikologi bahwa beragama dan beribadah kepada Allah itu sebenarnya satu kecenderungan fitrah tersendiri, yang basisnya disebut sebagai rasa beragama, mereka menempatkan rasa beragama sebagai naluri keempat manusia, disamping naluri rasa ingin tahu (kuriostika), rasa ingin berbuat baik (etika), dan rasa ingin keindahan (estetika).  Para sejarawan dan arkeolog menemukan fakta bahwa rasa beragama dan beribadah Allah adalah fenomena yang merata dan umum pada setiap generasi manusia sepanjang sejarah. Fenomena ini adalah salah satu bukti kuat bahwa religiusitas adalah fitrah yang bersifat universal.

Maka tidak salah, dari fenomena religiusitas setiap peradaban, melahirkan sebuah istilah umum, “Agama adalah jantung peradaban.” Setiap peradaban mempunyai pandangan dunia holistik, dimana dimensi metafisik, filosofis dan teologis termasuk di dalamnya.

Urgensi Mencari Agama
Dari berbagai uraian di atas menjelaskan bahwa dorongan naluri untuk mengetahui sesuatu, memeproleh keuntungan, dan perlindungan, menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk berpikir dan memperoleh beragam keyakinan.

Sebagaimana teori gambling yang kita sampaikan di atas, menunjukkan adanya upaya manusia untuk memenuhi kuriositasnya. Mungkin untuk sebagian manusia, kegiatan atau usaha untuk mencari agama adalah sebuah kesia-siaan. Karena menurut mereka, agama adalah sebuah pseudo-reality. Tidak mendatang sebuah keuntungan yang nyata atau bisa langsung dinikmati. Dengan demikian, mereka yang bergelut dengan agama adalah orang-orang yang membuang-buang waktu dalam ketidakjelasan.

Nampaknya alasan orang-orang yang enggan mengkaji agama di atas tidaklah relevan. Dalam sejarah perkembangan teknologi, para ilmuwan pada zamannya sering kali dipandang gila, karena menurut orang-orang yang sezaman dengannya mereka adalah orang-orang yang mebuang-buang energinya untuk sebuah kebodohan. Mari kita renungkan kembali justifikasi ini. Pada zamannya, Thomas alfa edision (penemu bola lampu pijar) dipandang gila dengan gagasan-gagasannya. Ia menghabiskan paruh usianya untuk melakukan eksperimen-eksperimen di laboratorium. Tidak hanya satu-dua kali ia gagal dalam eksperimentasinya. Bahkan puluhan, ratusan, ribuan kali. Hingga orang-orang di sekelilingnnya menganggap bahwa dia sudah gila. Namun apa yang terjadi ketika dia berhasil dalam uji laboratoriumnya? Seantero jagad memujinya dan Thomas alpha edision tak lagi dikenal dengan orang yang bodoh atau melakukan kesiaan.

Fenomena ini, tidak jauh berbeda ketika Einstein menemukan teori grafitasinya, orang berpikir bahwa tingkah orang jenius ini adalah sebuah kesiaan. Namun apa yang terjadi ketika ia mampu merumuskan grafitasi, yang kemudian diikuti dengan temuan applied science lainnya? Einstein tak lagi dikenal dengan orang yang bodoh atau melakukan kesiaan dengan segala lamunannya.

Beragam fenomena tersebut menunjukkan bahwa, kita tidak bisa melakukan justifikasi begitu saja terhadap agama atau apa pun itu. Sesungguhnya nilai kemungkinan tidak bisa diukur lewat satu indikiasi saja, yaitu kuantitas dari kemungkinan (qadr al-ihtimal).  Tetapi ada indikasi lain yang patut dipertimbangkan, yaitu kualitas hal yang dimungkinkan (qadar al-muhtamal).
   
Mengingat bahwa keuntungan yang dimungkinkan dari pencarian agama tidak terbatas, maka—meskipun tingkat kemungkinan hasilnya itu lebih kecil—besar nilai dan pentingnya sebuah pencarian dan membutuhkan energi yang lebih daripada usaha-usaha yang memiliki hasil terbatas. Dan ada pun orang yang menyadari bahwa ketidak perluan pada agama atau ia merasa bahwa masalah-masalah agama tidak mungkin dapat diselesaikan.

Sebuah ungkapan menarik dari M. T. Misbah Yazdi dalam menanggapi justifikasi di atas. “Pasal, darimana orang bisa mengatakan kita tidak memerlukan agama atau masalah-masalah agama tidak mungkin dapat diselesaikan, jika tanpa penelitan atau pencarian terlebih dahulu?”

Dan pada zaman sekarang ini, terdapat tanda-tanda bahwa agama-agama akan memainkan peran besar dalam mewujudkan hidup bersama sebuah masyarakat dunia ketiga. Sejarah sampai hari ini menunjukkan bahwa agama dapat mengangkat manusia pada keluhuran tertinggi, akan tetapi dapat juga disalahpahami manusia dan menjadi dasar tindakan-tindakan yang jahat.

Tasawwuf Sebagai Epistemologi

Selama ini, kebanyakan kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari orang dan ditujukan untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, di tengah pergulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.
Pendapat-pendapat di atas tidaklah salah, tapi mungkin kurang tepat atau kurang komprehensif. Ada aspek lain yang sangat penting dari tasawuf, yang menjadi fundasi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya.

Aspek penting itu adalah tasawuf sebagai salah satu pilar utama epistemology dalam Islam. Aspek epistemology Islam ini sangatlah penting kita kaji sebagai sebuah modus alternatif di zaman moderen ini, di mana kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik.

Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif tinimbang konstruktif bagi kemanusiaan – sebagaimana juga sudah sering dikritisi oleh beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony Giddens & Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang mengkritisi paradigma budaya Barat.

Sebelum lebih lanjut kita membahas hal ini lebih dalam, marilah kita pahami dulu dua konsep penting dalam kajian kita kali ini, yaitu: 1). Tasawwuf, 2). Epistemology.

Pengertian Tasawwuf (Irfan)

Istilah Tashawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah symbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan).

Konsep tasawuf mempunyai padanan istilah lain yang maknanya sama yaitu ‘Irfan (gnosis). Istilah Irfan – sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (positivisme-empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan ruhaniyah (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf)..

Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan irfan praktis (amali) sedangkan istilah ‘Irfan adalah untuk Irfan teoritis.

Sisi aspek tasawuf sebagai sarana mencapai ma’rifah (ilmu pengetahuan sejati tentang segala hakikat kebenaran dan kesempurnaan: Allah) atau sisi epistemology tawsawuf/Irfan inilah yang akan menjadi fokus kajian kita kali ini.
Pengertian Epistemologi

Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.

Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani: ‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan ‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.

Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology, khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific validity).

Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu: korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional.

Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.

Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’ (pengetahuan sehari-hari).

Pentingnya Epistemologi Islami


Berdasarkan pendahuluan di atas, di sinilah kita menemukan masalah akut, ketika filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).

Paradigma materialistic-mekanistik yang berdasarkan metode Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif-eksperimental-induktif) telah menyebabkan reduksi atas kenyataan hanya menjadi sekedar fakta-fakta materialisme-reduksionistik. Paradigma ini menyebar dan mempengaruhi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran manusia, direduksi hanya menjadi gerak-gerak material belaka. Misalnya, Adam Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip ‘mekanisme pasar’; Charles Darwin dalam Biologi berbicara tentang ‘mekanisme evolusi’, dan Sigmund Freud dalam psikologi berbicara tentang ‘mekanisme pertahanan diri/psikis’. Paradigma mekanistik-materialistik telah mendepak Tuhan dari wacana keilmuan dan mempromosikan sekularisme.

Armahedi Mahzar mengatakan bahwa, paradigma Cartesian-Newtonian tersebut, walaupun telah sukses meningkatkan kesejahteraan material umat manusia, namun akhirnya menggiring umat manusia ke dalam kubangan krisis multidimensional dalam kehidupannya, seperti penghancuran masal oleh militer akibat penggunaan senjata nuklir, kimia, biologi militer; kerusakan lingkungan hidup oleh polusi, degradasi, exploitation-depletion (eksploitasi sampai habis menipisnya Sumber Daya Alam); fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi, fragmentasi & konflik sosial akut, keterasingan psikologis manusia dari hal yang alami, sosial dan tehnikal.

Namun demikian, dalam perkembangan terakhirnya, science sendiri telah membuktikan kerapuhan paradigma materialistik-mekanistik tersebut di awal abad 20 lalu. Terutama dalam perkembangan ilmu fisika, biologi, astronomi, dll.

Di sinilah terlihat bertapa pentingnya epistemology Islam, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan 3 prinsip: korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Dalam pandangan tasawuf (Irfan) , ilmu adalah salah satu nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah. Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan sebaik-baiknya, bila ‘lensa’ dan ‘cermin’ akal & qolbu manusia yang mencari dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit hati. Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar (QS. : ). Inilah ayat yang menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge) atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati & akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang melengkapi apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired knowledge).

Dari sisi ontology, manusia yang mencintai dan dicintai Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load) sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya telah lebur (fana) ke dalam ‘Samudra Ilahiyah’. Yang Ada (Existence) hanyalah Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan serta sikap-sikap hidupnya adalah Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan) atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi). Inilah yang saya pahami tentang faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud (Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asyfar al Ar’baah al Aqliyah, atau ‘manungaling kawula-Gust’ dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan atau Panembahan Panggung, pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa ?)

Perlu ditegaskan di sini, dalam sudut pandang Filsafat Islam yang saya pahami, kajian Ontology tidak dapat terpisah dan selalu berjalin kelindan dengan epistemology dan aksiology secara intergratif-komprehensif-holistik. Epistemology Islam terbangun dari basis ontologis Tauhidi dan memandu atau mewarnai aksiologinya (ilmu terapan/practical sciences).

Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang dicerapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara terminology ‘alam’, ilmu, dan al-‘Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf ‘alif, lam dan mim. Alam adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya (“Akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu, sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq”, QS. : )

Tasawuf atau Irfan sebagai sarana pensucian jiwa dan akal manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas Fikir dan Zikir harus berjalan seimbang, sinergis, holistic dan integral dalam kehidupan umat manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan missi suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin. Wallahu ‘Alam.***

SEJARAH PERADABAN ISLAM

Pendahuluan
          Adalah tugas para Nabi dan Rasul as. memberikan bimbingan kepada umat manusia agar dapat menjalankan kehidupan dengan baik dan benar, dan mendidik mereka agar menjadi manusia yang mempunyai kesadaran intelektual dan ketajaman spiritual. Tugas ini tidaklah mudah, meskipun mereka adalah manusia-manusia yang terbaik pada zaman mereka sehingga mereka dipilih oleh Allah swt. menjadi utusan-utusabNya.
          Aneka macam cobaan dan ujian mereka alami, dan berbagai tantangan, gangguan dan siksaan mereka hadapi dari umat manusia. Tidak sedikit dari mereka yang dibunuh oleh umat mereka sendiri. Dari sekian banyak Nabi dan Rasul hanya beberapa Nabi dan Rasul saja yang dapat menciptakan sebuah masyarakat yang kuat dan berpengaruh, seperti, Nabi Sulaiman as., Nabi Dawud as. dan Nabi Muhammad saw. Perlu dicatat bahwa keberhasilan dalam terminologi mereka dan para pejuang tidak diukur dengan perolehan atas kekuasaan, materi dan jumlah pengikut. Keberhasilan diukur sejauh mana mengabdikan diri kepada Allah swt. dan sesama umat manusia.
           Secara spesifik, Nabi Muhammad saw. merupakan dari sedikit Nabi yang telah berhasil, dalam arti memperoleh kekuasaan dan kekuatan yang cukup disegani oleh musuh-musuhnya, serta pengikut yang banyak di saat beliau masih hidup.
Oleh karena itu, kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad saw. sangat fenomenal dan mengundang decak kagum para pengamat sosial. Karena pada umumnya, sepanjang sejarah manusia, pembawa suara kebenaran dan keadilan selalu tidak mempunyai kekuatan. Mereka termarjinalkan di pingiran kebisingan pesta para penguasa yang serakah. Mereka tenggelam dalam arus manusia yang rakus dan arogan. Jumlah pengikut mereka biasanya sedikit dan hidup dalam keterancaman.
           Kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad saw. dikecualikan dari situasi dan kondisi umum para Nabi dan pejuang di atas, meskipun beliau pada separuh masa perjuangannya mengalami situasi dan kondisi yang sama. Beliau telah berhasil membangun masyarakat Arab jahiliyyah menjadi masyarakat yang berperadaban Islam dalam tempo yang relatif singkat. Masyarakat Arab yang terbelakang menjadi pioner kemerdekaan, pembawa suara kebenaran dan keadilan dan penyebar ilmu pengetahuan di sentero dunia selama mereka mengikuti ajaran beliau.
Makalah ini mencoba menyingkap rahasia dibalik keberhasilan Nabi Muhammad saw. dalam merubah masyarakat jahiliyyah ke masyarakat berperadaban.

Arti Peradaban

            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan dua arti peradaban; 1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat perdabannya; dan 2)hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa. 
             Peradaban dalam bahasa Arab disebut dengan al hadhârah atau al tamaddun atau al ‘umrân. Menurut Ibnu Khaldun, al hadhârah adalah sebuah periode dari kehidupan sebuah masyarakat yang menyempurnakan periode primitif (al badâwah)dari masyarakat itu, karena al hadhârah adalah puncak dari al badâwah.  
Dia juga menyebutnya dengan al tamaddun dan al ‘umrân;

ولهذا نجد التمدن غاية للبدوي يجري اليها  

فمتى كان العمران اكثر كانت الحضارة اكمل، كما ان الحضارة في العمران ايضا

Kata ‘umrân ini digunakan dalam Qur’an.
           Dr. Muhammad Kâdzim Makki menyebutkan beberapa elemen dan kriteria peradaban;
1)    Khazanah kemanusiaan. Artinya setiap masyarakat manusia mempunyai cara tersendiri dalam memperoleh kenyamanan hidup mereka, dalam mempertahankan kelangsungan hidup mereka dan dalam berinteraksi sosial dan komunikasi, dimulai dari yang sangat primitif sampai dengan yang modern.   
2)    Akal (pengetahuan) sebagai ciri yang paling menonjol dari peradaban. Akal adalah yang membedakan manusia dari binatang. Dengannya manusia terus mengalami perkembangan yang tiada henti.
3)    Eksperimen (tajribah) sejarah. Setiap generasi dari sebuah masyarakat  mewarisi cara hidup dari generasi sebelumnya dan mencoba mengembangkan warisan itu, karena tidak mungkin satu generasi tiba-tiba menciptakan penemuan tanpa pengetahuan atau pengalaman yang diwarisinya dari generasi sebelumnya..
4)    Struktur geografis. Sebuah peradaban pada satu masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan geografis yang meliputinya.  

            Berdasarkan keterangan Kâdzim Makki, maka setiap masyarakat dan bangsa mempunyai peradaban tersendiri, namun yang satu lebih maju dari yang lain, karena perbedaan elemen-elemen tersebut.

Peradaban Bangsa Arab Sebelum Islam

             Arab sebagai sebuah bangsa dan masyarakat mempunyai peradaban sendiri sesuai dengan lingkungan intelektual, sosial dan geografis mereka. Menurut para ahli sejarah Arab bahwa bangsa Arab terdiri tiga kabilah besar yang utama; al Bâidah, al Âribah dan al Musta’rabah.. Sebagian dari keturunan mereka mempunyai peradaban yang cukup tinggi, seperti kaum Tsamûd dan ‘Âd yang dapat membangun istana dan tempat tinggal mereka dari batu dan gunung. Juga bangsa Arab yang tinggal di Saba’ dan Ma’rib daerah Yaman. Al Mas’udi menceritakan tentangnya, ” Sesungguhnya tanah Saba’ termasuk tanah yang sangat subur dan kaya di daerah Yaman ”.
            Seorang orientalis ke-araban,Gustav lebon menyimpulkan bahwa ada tiga indikasi perdaban bangsa Arab yang cukup tinggi sebelum munculnya Islam;             1) Adanya bahasa yang tinggi, 2) adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain dan 3) adanya bangunan-bangunan yang besar dan kokoh . Peradaban mereka hancur jauh sebelum munculnya Islam.
             Al Mas’udi menyebutkan bahwa keyakinan bangsa Arab macam-macam; ada yang monoteis dan meyakini hari kebangkitan, pahala dan siksaan, ada yang meyakini Tuhan dan akhirat tetapi mengingkari utusanNya dan menyembah berhala, ada yang cenderung ke ajaran Yahudi dan Nashrani dan lain sebagainya.
              Kabilah Quraisy, secara khusus, meskipun tidak semaju bangsa Arab sebelumnya , tetapi mereka mempunyai peradaban tersendiri. Menurut para ahli sejarah dan keterangan Hadis, mereka adalah termasuk keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim as. Oleh karena itu, mereka merasa yang berhak menjaga Ka’bah sebagai warisan yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Beberapa ajaran dan tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail masih mereka jalankan sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw. seperti, thawaf dan sa’i. Karena posisi mereka sebagai penjaga Ka’bah, Quraisy adalah kabilah Arab yang paling dihormati oleh kabilah-kabilah Arab lainnya.
            Dari sisi pengetahuan dan tekhnologi pada saat itu, mereka sangat terbelakang dibandingkan dengan bangsa Romawi dan Persia. Tradisi komunikasi mereka terbatas pada lisan saja, dan mereka dalam hal ini sangat maju. Arena perlombaan syair kerap diadakan setiap musim haji di pasar ‘Ukadz. Mereka sebagaimana yang disebutkan dalam surat Quraisy terbiasa mengadakan pejalanan ke Syam dan Yaman untuk berdagang.
             Para ahli sejarah menjelaskan ada beberapa tradisi Arab yang positif sebelum munculnya Islam. misalnya, ketika terjadi perselisihan antara suku, maka setiap suku  mengutus orang yang paling terhormat di antara mereka untuk mengadakan perundingan (al hilf). Salah satu perundingan mereka, adalah hilf al fudhûl. Nabi saw. pernah berkomentar tentang perundingan ini, “ Aku pernah menghadiri sebuah perundingan di rumah Abdullah bin Jadz’an. Anak unta yang masih merah tidak lebih aku senangi darinya. Andaikan aku diundang untuk menghadiri seperti itu, niscaya aku akan menyambutnya”.

Nabi saw. Merubah Peradaban Jahiliyyah ke Peradaban Islam
             Sebenarnya peradaban merupakan bagian dari fitrah manusia. Artinya setiap manusia ingin maju dan berkembang demi kenyamanan dan kesejahteraan hidup mereka, baik dalam kehidupannya yang bersifat individual maupun sosial. Para Nabi as. berperan meluruskan arah kemajuan yang diinginkan manusia agar tidak menyimpang ke arah yang membahayakan kehidupan mereka. Berkenaan dengan ini, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “
“ Lalu (Allah) mengutus di tengah mereka rasul-rasulNya dan nabi-nabiNya dari satu zaman ke zaman yang lain untuk menagih janji fitrahNya, mengingatkan nikmat-nikmatNya tang terlupakan, menyempurnakan tabligh dan membangkitkan kekuatan-kekuatan akal yang terpendam “ 
             Ketika Nabi saw. lahir dan sebelum diangkat menjadi Nabi, bangsa Arab sudah mempunyai peradaban, demikian pula bangsa di sekitar semenanjung Arabia; Byzantium Timur dan Persia. Tetapi pada saat yang sama, beliau menyaksikan prilaku bangsa Arab yang tidak sesuai dengan akal sehat dan hati nurani. Dekadensi Moral dan kedzaliman meraja lela di mana-mana. Sehingga beliau sering menyendiri di gua Hira’. Kebiasaan menyendiri itu dilakukan beliau bertahun-tahun sampai beliau diangkat menjadi Nabi dengan turunnya lima ayat pertama dari surat al ‘Alaq. Setelah itu, beliau diperintahkan untuk memperbaiki dan meluruskan kaumnya.
             Dalam pandangan Nabi saw. kehidupan yang maju dan nyaman tidak mungkin  ditegakan di atas pengetahuan santis-empiris belaka, tetapi juga di atas moral dan iman. Peradaban yang berlandaskan kemajuan pengetahuan santis-empirisi tidak akan membawa ke kehidupan yang nyaman dan bahagia. Kaum Tsamud, ‘Âd dan raja Fir’aun dari sisi pengetahuan saintis-empiris pada masa mereka sangat maju dan mengundang decak kagum manusia modern sekarang ini. Demikian pula Byzantium dan Persia telah membangun peradaban berlandaskan pengetahuan saintis-empiris begitu maju pada masanya.Namun peradaban mereka itu dibangun di atas penderitaan orang-orang lemah dan memakan ratusan ribu nyawa yang tidak berdosa.
              Nabi saw. memahami kenyataan itu dan meresapi kehidupan yang tidak adil itu. Peradaban seperti itu dianggap sebagai peradaban jahiliyyah. Untuk itu, beliau ingin merekonstruksi peradaban menjadi peradaban yang memberikan rasa keadilan dan kenyamanan.

Pilar-Pilar Peradaban Islam

               Sebelum membahas pilar-pilar peradaban Islam, perlu dijelaskan bahwa harus dibedakan antara peradaban Islam dengan peradaban Arab. Arab sebagai bangsa, baik bangsa Arab klasik, seperti Tsamud, ‘Ad dan Quraisy, atau bangsa Arab setelah Islam, mempunyai peradaban tersendiri. Seperti halnya, barat sebagai bangsa, baik Barat pada masa Romawi kuno, atau Barat modern, mempunyai peradaban tersendiri, mekipun agama terkadang memberikan pengaruh terhadap peradaban mereka. Peradaban mereka, Arab, Barat dan bangsa lain, mengalami jatuh-bangun dan jaya-surut. Jatuh-bangun peradaban mereka tergantung sejauh mana mereka menjaga empat elemen peradaban, yang telah disebutkan oleh Kâdzim Makki; peradaban mereka dibangun berdasarkan khazanah kamanusiaan, pengetahuan, pengalaman, dan struktur geografis mereka.
               Sementara peradaban Islam dibangun di atas nilai-nilai yang turun dari Allah swt. Ketika sebuah bangsa dapat menyerap dan melaksanakan nilai-nilai itu, maka bangsa itu membangun peradaban Islam. Peradaban yang dibangun tidak di atas nilai-nilai Ilâhi dianggap sebagai peradaban jahiliyyah, meskipun maju dalam hal pengetahuan saintis-empirisnya.
               Dengan demikian, adalah salah kaprah jika peradaban Islam dibandingkan dengan perdaban Barat, sehingga muncul penilaian, Manakah di antara keduanya yang lebih tinggi ?, karena perbedaan antara keduanya bersifat vertikal. Yang satu berlandaskan nilai-nilai Ilâhi dan yang lain berlandaskan empat elemen tersebut. Menjadi tepat jika perbandingan itu antara peradaban Barat dengan peradaban Arab atau negara Islam, yang perbedaannya bersifat horisontal.
Oleh karena sumber utama Islam adalah Qur’an dan Hadis, maka untuk mengetahui apa saja nilai-nilai yang menjadi pilar peradaban Islam, kita harus kembali ke dua sumber itu.

1. Ilmu Pengetahuan.
               Sebuah peradaban tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan. Pengetahuan adalah syarat pertama dan utama bagi majunya sebuah bangsa. Tanpa pengetahuan sebuah bangsa akan tertinggal, bahkan akan binasa. Menurut Muhammad Taqi Misbah dan Muhammad Baqir Shadr bahwa berpengetahuan merupakan sesuatu yang aksioma (badîhî) dan tidak perlu dipertanyakan lagi, apalagi diperdebatkan, karena ia bagian dari ciri yang paling utama bagi manusia, atau menurut Muthahhari, berpengetahuan adalah bagian dari fitrah manusia.
               Qur’an banyak mengajak manusia agar merenungi benda-benda yang ada di jagat raya dan menantang manusia untuk menyibak rahasia-rahasia alam semesta. Misalnya ayat yang berbunyi,” Hai kelompok jin dan manusia, jika kalian sanggup menembus lorong-lorong langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian tidak dapat menembusnya kecuali dengan sulthan “.Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘sulthan ‘ dalam ayat ini adalah ilmu pengetahuan.
               Meskipun Nabi saw., menurut sebagian, seorang yang ummi (buta huruf), tetapi beliau menyuruh para sahabatnya agar belajar baca-tulis, karena kemampuan membaca dan menulis adalah syarat bagi majunya seseorang dan sebuah masyarakat. Setelah perang Badar berakhir, dan kaum Muslimin menahan sejumlah orang Musyrik Mekkah, beliau bersabda, “ Barangsiapa dari para tahanan ada yang mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh pemuda dan anak-anak Anshar, maka dia dibebaskan tanpa diminta uang tebusan “.
              Pada masa beliau, para sahabat menjadi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Itu merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa Arab yang tidak begitu memperhatikan masalah baca-tulis.
               Beliau juga sangat apresiatif terhadap pengalaman dan eksperimen orang dan bangsa lain. Beliau mempraktekkan usulan Salman al Farisi untuk membuat parit besar dalam perang Khandaq, sesuatu yang lazim dilakukan oleh pasukan Persia ketika perang menghadapi musuh. Lebih dari itu, beliau menekankan pentingnya belajar dari usia dini sampai akhir hayat, meski dengan menempuh jarak yang sangat jauh.
              Perhatian terhadap pengetahuan dan penekanan yang kuat terhadap belajar merupakan ciri yang paling menonjol dalam ajaran Islam. Hal itu menunjukkan betapa Nabi saw. ingin membangun masyarakat yang cerdas dan pandai.
Sejak memeluk Islam, bangsa Arab berubah jati dirinya dari sebuah bangsa yang terbelakang dan tidak dipertimbangkan oleh Romawi dan Persia menjadi bangsa yang disegani dan dihormati karena ilmu pengetahuan.

2. Tauhid dan Iman
              Pilar peradaban Islam yang lain adalah tawhid dan iman. Dalam Qur’an disebutkan,
“ Jika penduduk kota itu beriman dan betaqwa, niscaya Kami buka di atas mereka berkat dari langit dan bumi “.
             Hakikat tauhid dan iman kepada Allah swt. adalah membebaskan manusia dari belenggu-belenggu penghambaan kepada selain Allah. Dalam ucapan “ Tiada tuhan selain Allah “ terdapat pesan yang jelas bahwa ketundukan dan penghambaan hanya kepada Allah swt. Dalam pandangan orang yang beriman, selain Allah swt. tidak punya hak untuk disembah dan ditunduki, dan ia memandang seluruh keberadaan selainNya sama seperti dirinya sebagai hamba.
            Diriwayatkan bahwa Dihyah al Kalbi, seorang sahabat Nabi, diperintahkan oleh Nabi saw.untuk membawa surat kepada Kaisar Romawi. Pada waktu itu, setiap orang yang akan menghadapi Kaisar diharuskan sujud dihadapannya. Dihyah dengan tegas menolak itu dan berkata,”Aku datang kepadamu untuk membebaskan manusia dari menyembah selain Allah dan hanya menyembah Tuhan segala tuhan”.
             Islam tidak hanya membebaskan manusia dari segala kekuatan eksternal saja, selain Allah, tetapi juga membebaskan manusia dari kekuatan internal, yaitu hawa nafsu.Karena dalam banyak ayat dan hadis diterangkan bahwa hawa nafsu cenderung ke keburukan dan kehancuran.
            Disinilah letak perbedaan antara peradaban Islam dengan peradaban lainnya, termasuk peradaban Barat. Peradaban Barat secara khsusus dibangun di atas pilar ilmu pengetahuan rasional-empiris yang notabene materialistik, sama dengan peradaban yang pernah ada sebelumnya. Tidak terpikirkan dalam benak mereka, jika mereka tidak bersentuhan dengan agama apapun, bahwa peradaban yang dibangun tanpa tawhid dan iman, sehingga mengikuti hawa nafsu, justru akan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Peradaban demikian biasanya tidak lepas dari kerakusan, kebebasan tanpa kendali dan dekadensi moral. Dan pada akhirnya ia menuju ke kehancuran.
             Pada dasarnya, Nabi Muhammad saw. dengan bimbingan Allah swt. merubah peradaban yang bersifat jahiliyyah menjadi peradaban Islam yang tegak di atas ilmu pengetahuan dan iman. Qur’an sendiri mengumpamakan,” orang-orang beriman seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, dan tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, kemudian besar dan tegak lurus di atas pokoknya, sehingga menyenangkan hati para penanamnya”.
            Muthahhari dalam mengomentari ayat ini berkata, “Sungguh betapa agung contoh yang digambarkan Allah tentang kaum Muslimin pada masa permulaan Islam. Inilah contoh yang mengarah kepada perkembangan dan kesempurnaan. Inilah contoh bagi orang-orang Mukmin yang senantiasa bergerak menuju kemajuan dan kesempurnaan”.
              Sejarah Islam pada masa itu adalah saksi akan kehebatan peradaban Islam. Will Durant, seperti yang dikutip oleh Muthahhari, berkata dalam bukunya, The Story of Civilization, “ Tidak ada peradaban yang lebih mengagumkan seperti perdaban Islam”.

Kesimpulan.

            Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah swt. bertugas merubah manusia dari kehidupan yang penuh dengan kesesatan, penyimpangan dan kezaliman ke kehidupan yang bermoral luhur dan nyaman. Untuk mencapai itu, beliau mendorong mereka agar selalu belajar dan meningkatkan pengetahuan, sebagai syarat memperoleh kemajuan dan kenyamanan. Selain pengetahuan, beliau juga mengajarkan tawhid dan iman, sebagai landasan kehidupan agar tidak rakus dan serakah.

Daftar Pustaka

Ali bin Abi Thalib, Nahj al Balâghah, Dâr al Hijrah, Qom t.t.
KBBI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1989.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Dâr al Kitab al Lubnâni, Beirut 1967
Dr. Muhammad Kâdzim Makki. Al Madkhal ila al Hadhârah al ‘Ashr al ‘Abbasi, Dâr al Zahra, Beirut 1990
Ibnu Atsir, al Kâmil fi al Târikh, Dâr al Kitâb al ‘Arabi, Beirut t.t.
Ja’far Subhani, Sayyidul Mursalîn, Muassasah al Nasyr al Islami, Qom t.t.
al Mas’udi, Murûj al Dzahab, Muassasah al A’lami, Beirut 1991
Hasyim Ma’ruf, Sirah al Musthafa, Mansyurat Syarif Radhi,Qom 1364
Taqi Misbah,  al Manhaj al Jadid fi Ta’lim al Falsafah, Muassasah al Nasyr al Islami, Qom 1407.
Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna,al Majma’ al Ilmi li Syahid Shadar,Qom1408.
Muthahhari, fithrat, Intisyârât Shadra, Qom1369
Islâm wa Muqtazayât-e Zamân, Intisyârât-e Shadra.Teheran 1372
Al Thaba’thabai, Tafsir al Mîzân, Muassasah al ‘Alami, Beirut 1991
Muhammad Farid Wajdi, al Islam fi ‘Ashr al ‘Ilmi,Dâr al Kitab al ‘Arabi, Beirut t.t.
Prof. Muhsin Qira’ati, Membangun Agama, Cahaya. Bogor 2004
Muthahhari, Islâm wa Muqtazayât-e Zamân, Intisyârât-e Shadra.Teheran 1372