Kamis, 03 Februari 2011

WANITA DAN SENI (DALAM PANDANGAN ISLAM)


Pesona wanita sejak dulu hingga sekarang sebetulnya tidak pernah berkurang atau bertambah, hanya tentu saja pada jaman sekarang peranan wanita yang lebih bervariasi dalam pola kehidupan masyarakat, membuat wanita semakin menonjol untuk dibicarakan dan dibahas (terutama oleh kaum lelaki). Membicarakan wanita tidak bisa terlepas dari bentuk tubuh, seksualitas, serta intelektualitasnya.
Nampaknya akan terlihat aneh apabila menggambarkan seorang wanita tanpa tambahan komentar khusus mengenai bentuk tubuh ataupun paras wajahnya. Walaupun begitu dari abad ke abad, dari jaman kecantikan khas Nefertiti (permaisuri raja Mesir “Fir’aun") hingga jaman yang sering dianggap sebagai abad “Internet” ini, wanita selalu di anggap sebagai makhluk yang menyimpan berjuta misteri, terkadang terlihat menarik untuk diraih, namun sulit untuk ditaklukkan.

Bahkan yang lebih menunjukkan kekuasaan kaum wanita adalah dunia mode, wajar-wajar saja seorang wanita yang bersikap tomboy, malahan untuk orang-orang tertentu sifat ini dianggap menggemaskan dan menarik untuk disimak. Sebaliknya coba saja bila seorang laki-laki yang bersikap kewanita-wanitaan bukan sikap simpatik yang akan dia dapatkan melainkan cemoohan dan pandangan negatiflah yang menghampirinya. Mode-mode pakaian dari dulu hingga sekarang selalu dikuasai oleh pemenuhan selera berpakaian kaum wanita, bahkan kemudian timbul istilah unisex untuk beberapa model baju tertentu yang inspirasi dasarnya dari busana laki-laki yang kemudian divariasi se hingga menjadi busana wanita.

1 Aurat Polemik Seni
Berbicara seni ala Barat adalah berbicara batasan didalam Islam. Dengan demikian, menurut Islam, seni tidak bebas nilai. Di dalam Islam, seni diikat oleh aturan yang telah final. Ikatan tersebut tidak linear dengan falsafah liberalisme yang menjadi landasan epistemologi Barat dalam memandang seni. Liberalisme mengajarkan bahwa manusia adalah pusat, segala-galanya, dan tidak diikat oleh wahyu (antroposentris). Tidak heran, jika ideologi-idelogi modern produk Barat semisal HAM, demokratisasi, gender equali ty, kebebasan berekspresi, dan lain-lain adalah ideologi-ideologi yang berpusat kepada kemanusiaan.
Jadi, sebenarnya permasalahannnya telah sangat jelas. Meskipun dengan dalih seni, tetapi aurat yang diekspolitasi untuk mengeruk limpahan materi dan membangunkan syahwat pria tetaplah aurat dan hukumnya haram. Aurat dan penghinaan Nabi tetaplah aurat dan penghinaan. Ia tidak bisa dijustifikasi dengan dalih seni, keindahan, dan kebebasan.

Kaidah fiqih mengajarkan bahwa menghukumi sesuatu adalah dengan substansi dan isi, bukan dengan kulit dan na ma (al-'ibrah bi ‘l maqâshid wa ‘l musammayyât la bi ‘l mazhâhir wa ‘l asmâ`/al-`umûr bi maqâshidiha). Jika Islam melarang sesuatu, wasilah-wasilah yang mendukung pengharaman tersebutpun dilarang (an-nahyu `an syain nah yun bi wasâ`ilihi/ ma yufdhî ilâ ‘l harâm fa huwa ‘l harâm). Hal-hal yang halal telah jelas, dan hal-hal yang haram telah jelas. Allah hanya menghalalkan hal-hal baik saja (thayyibât). Sedangkan hal-hal yang bisa mengakibatkan kehancuran, eksploitasi wanita, zina, dekadensi moral, keru sakan generasi, dan lain-lain adalah hal-hal yang diharam kan oleh-Nya (QS. Al-‘A’raf : 157).
Pandangan seperti ini tidak lantas menjadikan seni sebagai hal yang akan "dikerangkeng" oleh Islam. Karena terbukti, dalam masa kosmopolitan peradaban Islam, seni Islam berkembang dengan sangat menakjubkan. Namun, seni tersebut tetap dibatasi oleh akhlak Islam yang taken for granted. Untuk itu, patung, lukisan telanjang dan lain-lain, tidak pernah berkembang dalam tradisi seni Islam sepanjang empat belas abad. Tradisi ini baru berkembang dan dijustifikasi dengan dalih seni—pada masa sekarang saja. Setelah ekspansi Barat yang jor-joran kepada seluruh ranah kehidupan modern umat Islam.
Seni Islam adalah seni yang diwarnai oleh ruh "Sesung guhnya Allah Maha Indah, Dia menyukai keindahan" (HR. Muslim). Bahkan, dibalik semua itu, Al-Quran mengajak manusia untuk merenungi seni maha indah dalam bentuk kumparan semesta alam tumbuhan, binatang, antariksa yang hanya diciptakan oleh Allah. Inilah seni yang sebenarnya, indah, memberi hiburan jiwa, dan bisa menjadikan sebuah peradaban maju.
Dalam "Ats-Tsaqâfah Al-Islamiyyah baina ‘l Ashâlah wa ‘l Mâ`ashirah, "Yusuf Qardhawi menyarankan sebuah kaca mata pandang yang harus kita tolak, yaitu justifikasi (tabrîr). Pandangan seperti ini biasanya ingin menjustifikasi re alitas yang menyimpang dari ajaran Islam dengan meng gunakan berbagai dalih. Terlebih lagi, kita tidak bisa mene rima jika justifikasi tersebut justru menggunakan teks-teks Al-Quran dan hadits yang menyalahi kaidah-kaidah bahasa Arab dan konsensus universal umat Islam (ijmâ`) selama ratusan abad. Sehingga, dengan pisau pandangan seperti ini, yang haram bisa menjadi halal dan yang benar bisa menjadi salah.
Hal-hal yang terjadi pada dasawarsa sekarang ini tiadalain menunjukkan bahwa pemikiran, politik, ekonomi, negeri, agama, peradaban, seni dan lain-lain. Kita masih diduduki oleh bangsa lain. Sebagaimana disinyalir oleh Ibnu Khaldun, bangsa yang diduduki adalah bangsa yang kalah. Ia selalu mengikuti segala model bangsa yang menduduki dan menang. Sebagai sebuah kekuatan hegemoni yang besar, ranah-ranah tersebut ingin dinetralkan, diliberalkan, direlatifkan, dan disekularkan dari sebuah nilai, ideologi, dan agama. Maha Benar Allah ketika Dia berfirman bahwa manusia akan menjadi sangat arogan jika mereka merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak merasa butuh terhadap bimbingan wahyu.


2 Simbol Kecantikan
Dalam tulisan ini yang akan diuraikan adalah tipe-tipe wanita yang dianggap mempunyai kharisma dan ciri khas tertentu, sehingga sering dianggap sebagai simbol kecantikan yang berasal dari sekitar abad X hingga abad XIV Masehi. Namun toh tetap relevan hingga saat ini.

Museum Mpu Tantular sesungguhnya perlu berbangga hati karena mempunyai 4 (empat) model atau tipe kecantikan wanita yang masing-masing mempunyai kekhasan sendiri-sendiri.
Yang pertama adalah kecantikan yang klasik, anggun, intelektual. Wanita tipe ini biasanya tidak mempunyai warna kecantikan yang amat menonjol, namun biasanya dari pancaran matanya serta gerak dan lekuk tubuhnya yang luwes dan penuh kelembutan akan memberikan ketenangan bagi yang berdekatan dengannya. Sehingga seolah-olah mereka digambarkan rapuh dan ringkih, padahal sebetulnya tidak begitu.
Contoh tipe ini adalah Prajnaparamita. Patung koleksi Mu seum Mpu Tantular sebenarnya merupakan replika, sedangkan aslinya menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta. Prajnaparamita adalah wujud antropomorpik dari pustaka (kitab keagamaan Buddha). Selain itu Prajnaparamita juga dianggap sebagai pancaran dari Dhyani Buddha Aksobhya bahkan kadang-kadang dianggap sebagai pancaran dari semua Dhyani Buddha. Pada masa kemudian Prajnaparamita dianggap sebagai sakti dari Vajradhara (Adibuddha). Namun maksud dari pembuatan patung ini adalah untuk menggambarkan Ken Dedes isteri Ken Arok raja Singosari yang bergelar Rajasa Amurwabhumi dan memerintah dari tahun 1227 M hingga tahun 1227 M. Da lam kitab-kitab sastra Jawa kuno, memang disebutkan kecantikan dari Ken Dedes tersebut. Pada awalnya Ken Dedes adalah seorang isteri adipati Tumapel bernama Tunggul Ametung, karena daya pikatnya yang begitu besar membuat Ken Arok mabuk kepayang dan bertekad bulat untuk menjadikannya permaisuri. Akhirnya keinginan Ken Arok tercapai, setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok pun berhasil menjadikan Ken Dedes wanita yang paling berbahagia di dunia, menjadi permaisuri seorang raja yang gagah perkasa dan tampan, kaya raya (ukuran pada masa itu) mempunyai istana yang megah dan mestinya dilengkapi dengan peralatan yang serba canggih, serta memiliki perhiasan yang aduhai banyaknya, sehingga sekujur badannya dipenuhi dengan untaian mu tiara, intan, berlian dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.
Begitulah yang terlihat pada penggambaran Ken Dedes sebagai Prajna paramita, selain mengenakan pakaian yang terbuat dari kain yang halus, juga mengenakan cincin kaki gelang kaki (nupura), ikat pinggul, ikat pinggang (kali bandha), kalung (hara) kelat bahu (keyura), gelang (kankana), serta anting-anting yang terbuat dari untaian mutiara (kundala). Dalam agama budha, Prajnaparamita selain dikenal sebagai sakti Buddha tertinggi yaitu Adibud dha, juga dianggap sebagai simbol ilmu pengetahuan, karena itu dalam ikonografinya dia selalu digambarkan membawa utpala yang diatasnya terdapat pustaka, karena sebagai dewi ilmu pengetahuan, dia juga dianggap mampu mengusir kegelapan (dari ilmu pengetahuan, kebodohan) menjadi keterangbenderangan, juga dipuja sebagai dewi pembawa kedamaian, ketenangan. Karena peranannya itulah maka Prajnaparamita banyak dipuja dan menjadi sangat populer bagi pemeluk agama Buddha.
Tipe kecantikan yang kedua adalah kecantikan yang bersifat melindungi, memberikan ketenangan, rasa aman dan kasih seperti seorang ibu kepada anaknya. Tipe ini di gambarkan sebagai seorang wanita yang lembut, dan biasanya juga tidak cantik sekali, namun wajahnya nampak sabar (santha) dengan pandangan mata teduh dan bentuk tubuh yang agak tambun, mempunyai buah dada yang besar, pinggul dan pinggang lebar namun menunjukkan adanya kekuatan. Di Museum Mpu Tantular tipe ini diwakili dengan patung Parwati. Parwati adalah sakti dewa Siwa. Dikenal sebagai simbol wanita yang benar-benar mempunyai seluruh syarat terbaik sebagai seorang wanita, ibu dan istri. Selain itu Parwati juga dianggap sebagai dewi lambang kesuburan, bersama-sama dengan Siwa, mereka berdua sering digambarkan sebagai yoni (simbol wanita) dan lingga (simbol laki-laki) yang nantinya akan melahir kan kekuatan, dan kelangsungan hidup manusia.
Kecantikan tipe yang ketiga adalah tipe yang sekarang bi asa disebut agresif (dalam pengertian yang positif) mung kin sebagai gambaran watak dan sikap remaja-remaja kita saat ini, mereka tidak hanya mau menerima namun juga mampu untuk mengambil sikap dan tindakan yang tegas. Tipe ini memang sangat menarik untuk disimak, mereka selain digambarkan mempunyai bentuk badan dengan lekuk- lekuk yang sempurna (bak gitar Spanyol) luwes namun berotot juga seringkali digambarkan bersikap dinamis tanpa menunjukkan sikap kejam dan semena-mena, berwajah cantik, menunjukkan kecerdasan dari bentuk mata serta pandangannya dan menunjukkan kematangan jiwanya. Tipe seperti ini diwakili dengan patung Durga Ma hisasuramardhini, walaupun dalam penggambarannya Durga disebutkan dalam adegan kemenangan setelah berha sil mengalahkan asura yang berubah bentuk seperti kerbau yang sangat besar. Namun yang menarik dalam adegan ini tidak digambarkan Durga sebagai wanita yang kejam dan berbadan kekar kelaki-lakian, sebaliknya Durga tetap digambarkan feminim, cantik dan menarik. Hal ini jelas tertuang dalam mitologi, bahwa untuk mengalahkan asura berupa kerbau jantan yang sangat besar tersebut memang dewa Siwa telah menciptakan seorang dewi yang sangat cantik dan penuh pesona, setelah wujud dewi tadi terbentuk barulah para dewa yang lain melengkapi dengan memberikan berbagai jenis senjata yang nantinya dapat digunakan oleh Durga dalam melawan Asura. Bahkan ada beberapa kitab yang menunjukkan bahwa badan Durga juga dibuat bersama-sama oleh para dewa dengan cara menyatukan kekuatan dalam masing-masing dewa, sehingga menghasilkan makhluk yang sangat cantik namun mempunyai kesaktian yang sangat tinggi pula. Mungkin maksud yang lebih dalam dari cerita ini bisa lebih kita sederhanakan, bahwa bagaimanapunjuga kekejaman (seseorang) akan bisa terkalahkan dengan sikap yang sebaliknya yaitu kelemah lembutan namun tetap memendam kekuatan.

Mungkin gambaran cerita Durga ini bisa kita terapkan pada kehidupan kaum wanita saat ini, yaitu untuk melawan kediktatoran kaum laki-laki kita tidak harus melawan dengan kekerasan namun justru dengan menonjolkan kefe mininan kita, kita akan bisa mengalahkannya.
Tipe yang terakhir atau keempat boleh dikatakan adalah tipe kecantikan yang serba kaku, keras kepala, menunjuk kan ke-aku-an yang menonjol, bahkan dalam gerakannya terlihat keinginan untuk diperhatikan. Tipe ini juga nampak garang dan terkesan tidak bisa menyembunyikan apa yang tengah dialami, dan justru inilah daya tariknya. Tipe ini diwakili oleh patung Durga Mahesasuramardhini yang berasal dari candi Rimbi.
Sebagaimana disebutkan di atas dalam ikonografinya Durga paling sering digambarkan dalam adegan mengalah kan Asura, namun di Jawa (atau Indonesia umumnya) sangat jarang ditemukan wajah Durga yang menunjukkan dirinya sebagai seorang raksasi, sebaliknya Durga selalu di gambarkan dengan penuh kelembutan seorang wanita. Yang nampak lain adalah patung Durga dari candi Rimbi ini. Patung Durga dari candi Rimbi ini digambarkan berdiri dengan kedua kaki terbentang (pada umumnya Durga di gambarkan dalam sikap tribhangga), menyeringai sehingga memperlihatkan gigi taringnya yang tajam, mata melotot dan rambut terurai tak beraturan. Hal ini tentu saja disebabkan karena pengaruh dari aliran keagamaan yang me latar belakangi pembuatan patung tersebut, yaitu aliran Tantrayana. Tantrayana adalah salah satu aliran dalam agama Hindu yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan raja Kertanegara, yaitu akhir dari kerajaan Singosari, walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa agama Hindu yang masuk di Indonesia sudah menunjukkan adanya pengaruh Tantris tersebut. Salah satu dari ciri aliran ini adalah menonjolnya peranan dewi atau sakti (pendamping dewa yang mempunyai ciri dan kekhasan serta kekuatan sama dengan dewa yang didampingi) dewa dalam alam pikir mereka, karena para penganut Tantris berpendapat bahwa persatuan antara laki-laki dan perempuan inilah yang akan menghasilkan kekuatan yang akan membawa ke nirvana. Selain itu ciri aliran ini juga terlihat dalam ikonografi beberapa dewa dan dewi, dalam penggambaran dewa dan dewinya seringkali dalam bentuk krodha, kemarahan, bahkan ada beberapa yang dilengkapi dengan atribut tengkorak, ada pula yang dalam ikonografinya terlihat dalam bentuk yang sangat berlebihan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa para seniman masa kebuda yaan Hindu-Buddha biasa disebut seniman keagamaan, karena mereka membuat patung dewa berdasarkan pada aturan-aturan tertentu yang sudah tertulis dalam kitab-ki tab keagamaan mereka. Kitab-kitab tersebut pada awal nya hanya berupa sebentuk puji-pujian kepada dewa, kemudian dewa-dewa yang tertulis didalam kitab tersebut di wujudkan dalam bentuk patung yang disebut antropomor phik (mewujudkan dalam bentuk manusia). Pada beberapa peninggalan kuno di Jawa Tengah aturan-aturan yang ada didalam kitab keagamaan masih relatif ditaati, lain hal nya dengan periode Jawa Timur. Banyak sekali paraseniman yang telah menambah ataupun sedikit mengganti atribut dewa dengan tujuan untuk lebih mendukung fungsi dan peranan dewa tersebut, hal ini tentu saja bisa dihu bungkan dengan menjamurnya kebiasaan para raja di Jawa Timur yang menganggap dirinya adalah titisan dewa tertentu sebagai sarana untuk melegitimasi diri.
 Seniman bagaimanapun juga tetap seniman, yang mengagungkan karya seni. Dalam berkarya mereka tidak akan bisa berhasil maksimal apabila diharuskan memenuhi ber bagai macam syarat, bagaimanapun kreatifitas mereka sebagai jati diri tetap akan muncul dalam hasil karya mereka. Begitu pula dalam melukiskan atau membuat patung dewi, secara tidak sadar mereka akan membayangkan watak dan peranan dewi tersebut. Dengan merangkai baya ngan itu, maka mereka dapat dengan lancar membentuk wujud dewi tersebut dalam pahatan mereka, tanpa melen ceng jauh dari aturan yang berlaku. Sebagai contoh; Parwati dalam masyarakat Hindu dianggap sebagai prototipe wanita yang penuh sifat keibuan, lembut, dan bahkan ke mudian dianggap sebagai dewi simbol kesuburan. Biasa nya orang akan lebih mudah membayangkan sesuatu dengan mengambil perbandingan dari apa yang sering terlihat sehari-hari. Tidak mungkin bukan seorang simbol kesuburan digambarkan berpinggang ramping, dan berotot ten tu saja untuk memperjelas peranan Parwati, dia digambar kan dengan pinggang yang lebar dan sedikit gemuk, sederhana namun tetap menonjolkan daya tariknya sebagai seorang wanita. Tentu saja lebih mudah bagi seorang seni man menggambarkan dewi kesuburan dengan membayangkan wajah ibunya, pada umumnya wanita yang sudah pernah melahirkan akan terlihat dari perubahan bentuk tu buhnya namun toh perubahan itu tidak selalu mengurangi kecantikannya. Demikian juga halnya pada penggamba ran Prajna paramita, Durga Mahisasura mardhini pada umumnya dan khusus di candi Rimbi. Abad demi abad telah berlalu, namun toh keempat tipe kecantikan wanita tersebut masih saja tetap ada dan masing-masing tipe mempunyai daya tarik yang berlainan. Seperti itu pengambaran aurat-aurat wanita yang dijadikan simbol kecantikan, dengan dalih sebagai nilai seni tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar