Jumat, 11 Februari 2011

IMAM KHUMAINI

Imam Khomeini: Dari Lahir Hingga Wafat

Ruhullah Musavi Khomeini lahir pada tanggal 20 Jumadis-Tsani 1320 H (24 September 1902) di kota Khomein, provinsi Markazi, Iran tengah. Ia terlahir di tengah keluarga agamis, ahli ilmu, dan pejuang, keluarga terhormat yang masih menyimpan darah keturunan Sayidah Fatimah Az-Zahra ra, putri Rasulullah saw. Ruhullah adalah pribadi agung yang menjadi pewaris kemuliaan para bapak dan datuknya yang selalu mengabdikan diri untuk membimbing umat dan menuntut makrifat ilahi dari suatu generasi ke generasi lainnya. Ayah Imam Khomeini adalah Al-Marhum Ayatollah Sayid Mostafa Musavi. Beliau hidup sezaman dengan Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Mirza-e Shirazi. Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu agama di kota suci Najaf dan berhasil meraih gelar mujtahid, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi kembali ke Iran dan menetap di Khomein. Di kota kecil inilah beliau mendermakan umurnya untuk mengabdi kepada masyarakat dan menjadi pembimbing mereka dalam urusan agama. Hanya selang 5 bulan setelah kelahiran
Ruhullah, Ayatollah Sayid Mostafa Musavi, gugur syahid akibat serangan teror pembunuh bayaran para tuan tanah Khomein di waktu itu. Beliau meneguk manisnya madu syahadah setelah peluruh panas bersarang ke tubuhnya saat menempuh perjalanan dari kota Khomein menuju Arak. Di masa itu, ayah Ruhullah memang dikenal sebagai seorang pejuang yang senantiasa menentang kezaliman para penguasa. Tak lama kemudian, sanak famili Ayatollah Musavi bertandang ke pemerintah pusat Tehran, guna menuntut diterapkannya hukum Qishash terhadap para pelaku teror. Sejak kecil Ruhullah memang sudah terbiasa dengan derita anak yatim dan mengenal arti syahid. Di masa kecil dan remajanya, Ruhullah berada di bawah asuhan ibunya, bernama Hajar. Ibunya sendiri adalah putri keluarga ulama. Ia adalah cucu Al-Marhum Ayatollah Khounsari, penulis kitab Zubdah Al-Tasanif. Bersama ibunya, Ruhullah juga diasuh oleh bibinya yang dikenal sebagai seorang perempuan pejuang, bernama Sahebah. Namun menginjak usia 15 tahun, Ruhullah pun kehilangan belaian kasih ibu dan bibinya. Hijrah ke Qom Tak lama setelah kepindahan Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, ke Qom pada Rajab 1340 H (Sekitar bulan Maret 1921), Imam Khomeini pun akhirnya turut hijrah ke Hauzah Ilmiah Qom dan dengan segera ia menyelesaikan pendidikan tingkat akhirnya di sana. Imam Khomeini mempelajari bagian akhir kitab Al-Muthawwal di bidang ilmu ma’ani dan bayan (sastra Arab) di bawah bimbingan Agha Mirza Muhammad Ali Adib Tehrani. Sebagian besar pelajaran tingkat menengah hauzahnya ia tamatkan di bawah asuhan Ayatollah Sayid Ali Yatsribi Kashani, dan juga Ayatollah Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Sementara pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih beliau pelajari dari Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi, pendiri Hauzah Ilmiah Qom. Setelah wafatnya Ayatollah Hairi Yazdi, berkat upaya Imam Khomeini dan para ulama besar Hauzah Ilmiah Qom lainnya, Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi akhirnya dikukuhkan sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Di masa itu, Imam Khomeini terpilih sebagai salah satu pengajar Hauzah dan dikenal sebagai mujtahid di bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Filsafat, Irfan, dan Akhlak. Selama bertahun-tahun menjadi pengajar di Hauzah, Imam Khomeini mengajar di madrasah Faiziyah, masjid A’zam, masjid Muhammadiyah, madrasah Haj Molla Shadiq, masjid Salmasi dan beberapa tempat lainnya. Sementara itu, selama 14 tahun di Hauzah Ilmiah Najaf, Irak, Imam Khomeini mengajar ilmu-ilmu Ahlul Bait as dan fiqih pada peringkat tertinggi Hauzah, di masjid Syeikh A’zam Ansari. Di kota Najaf inilah, Imam Khomeini untuk pertama kalinya mengungkapkan dasar-dasar teori pemerintahan Islam dalam rangkaian pelajaran wilayatul-faqihnya. Perjuangan dan Kebangkitan Imam Khomeini Semangat perjuangan dan jihad Imam Khomeini, berakar pada pandangan akidah, pendidikan, lingkungan keluarga, dan situasi politik dan sosial di sepanjang masa hidupnya. Perjuangan beliau dimulai sejak masa remajanya, lantas berkembang kian matang seiring dengan perkembangan psikologis dan ilmiah

Imam Khomeini di satu sisi, dan transformasi politik dan sosial di Iran dan dunia Islam di sisi lain. Pada tahun 1340 hingga 1341 HS (1961-1962), rezim Pahlevi mengesahkan aturan yang dikenal dengan nama Anjomanha-ye Eyalati va Velayati (Lembaga Lokal dan Federasi). Peristiwa ini merupakan kesempatan bagi Imam Khomeini untuk memimpin kebangkitan para ulama. Sehingga kebangkitan massal para ulama dan rakyat Iran pada tanggal 15 Khordad 1342 HS (5 Juni 1963) meletus. Kebangkitan 15 Khordad memiliki dua ciri utama: kepemimpinan tunggal Imam Khomeini dan keIslaman motif, tujuan, dan slogan kebangkitan. Kebangkitan ini merupakan babak baru perjuangan bangsa Iran yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Islam. Saat Perang Dunia I berlangsung, Imam Khomeini masih berusia 12 tahun. Terkait hal ini, Imam Khomeini menuturkan, “Saya masih ingat terjadinya dua perang dunia. Kala itu saya masih kecil tapi tetap pergi sekolah. Saya melihat para tentara Uni Soviet yang saat itu tengah berada di Khomein. Kami pun menjadi bulan-bulanan kekejaman mereka di era Perang Dunia I”. Di bagian lain kenangannya, Imam Khomeini pernah menyebut nama-nama sejumlah penjahat bayaran yang berlindung di bawah penguasa wilayah Markazi, Iran. Mereka adalah para pengganas yang kerap merampas harta dan harga diri warga Markazi. Mengenai hal ini, Imam Khomeini mengungkapkan, “Sejak kecil saya sudah terbiasa dengan perang. Kami menjadi sasaran kejahatan kelompok Zalaqi dan Rajab Ali. Namun kami punya senjata sendiri. Pernah di suatu hari, saat saya masih anak-anak atau kira-kira di masa-masa awal baligh, saya mengawasi kantong-kantong perlindungan di kampung kami dan turut menjaga benteng pertahanan. Sementara para penjahat bayaran hendak menyerang dan merampok”. Pada tanggal 3 Esfand tahun 1299 HS (22 Februari 1921), Reza Khan menggelar aksi kudeta. Berdasarkan data-data dan bukti sejarah yang valid, kudeta tersebut didalangi dan diorganisir oleh Inggris. Meski kudeta Reza Khan berhasil mengakhiri era kekuasaan dinasti Qajar, dan mampu meminimalisir gerak para penguasa lokal yang zalim, namun kudeta tersebut memunculkan diktator baru. Diktator baru ini lantas mendirikan dinasti Pahlevi sebagai penguasa tunggal Iran. Pasca meletusnya Revolusi Konstitusional dan tekanan bertubi-tubi pemerintah dan konspirasi Inggris di satu sisi, serta perselisihan kaum elite dan intelektual kebarat-baratan di sisi lain, mendorong kalangan ulama yang ditekan untuk bangkit berjuang membela Islam. Atas permintaan para ulama Qom, Ayatollah Al-Udzma Haj Syeikh Abdul Karim Hairi Yazdi dari Arak hijrah ke Qom. Tak lama setelah itu, Imam Khomeini pun dengan segera menyelesaikan pelajaran tingkat dasar dan menengah Hauzahnya di Khomein dan Arak, lantas menyusul ke Qom. Beliau juga turut aktif dalam memperkuat posisi Hauzah Ilmiah Qom yang baru saja berdiri. Dalam waktu yang relatif singkat, Imam Khomeini pun lantas dikenal sebagai ulama terkemuka di bidang irfan, filsafat, fiqih, dan ushul fiqih. Dengan wafatnya Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi, pada tanggal 10 Bahman 1315 (30 Januari 1937), Hauzah Ilmiah Qom yang baru saja didirikan terancam bubar. Namun demikian, para ulama Hauzah pun segera mencari solusi. Selama delapan tahun, Hauzah Ilmiah Qom diasuh oleh Ayatollah Al-Udzma Sayid Mohammad Hojjat, Ayatollah Al-Udzma Sadruddin Sadr, dan Ayatollah Al-Udzma Sayid Muhammad Taqi Khounsari. Selang masa itu, khususnya setelah tumbangnya Reza Khan, situasi untuk memunculkan marjaiyat yang besar mulai terbuka. Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi, merupakan figur ulama besar, yang layak untuk menggantikan posisi Al-Marhum Ayatollah Al-Udzma Hairi Yazdi. Karena itu para murid Ayatollah Hairi Yazdi termasuk Imam Khomeini segera mengusulkan untuk memilih Ayatollah Boroujerdi sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah Qom. Dengan penuh kesungguhan, Imam Khomeini mengundang Ayatollah Boroujerdi untuk berhijrah ke Qom dan menerima tanggung jawab besar sebagai pengasuh Hauzah Ilmiah di kota ini. Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini selalu memantau situasi politik Iran dan kondisi Hauzah. Pelbagai informasi dan data beliau peroleh lewat telaah tak kenal lelah buku-buku sejarah kontemporer, beragam majalah, dan koran. Imam Khomeini juga kerap pergi ke Tehran dan berhubungan dengan para tokoh

politik Islam, seperti Ayatollah Modarres. Imam Khomeini melihat bahwa satu-satunya harapan untuk melepaskan bangsa Iran dari jeratan penguasa dikatotar dan konspirasi asing, pasca kegagalan Revolusi Konstitusional dan berkuasanya Reza Khan adalah kebangkitan para ulama Hauzah. Tentu saja sebelum kebangkitan itu dilancarkan, upaya menjamin keberadaan Hauzah Ilmiah dan hubungan spritual masyarakat dengan ulama harus terealisasikan terlebih dahulu. Guna mencapai tujuan luhurnya, pada tahun 1328 HS (1949), Imam Khomeini bersama Ayatollah Morteza Hairi merancang program reformasi mendasar struktur Hauzah Ilmiah dan mengusulkannya kepada Ayatollah Al-Udzma Boroujerdi. Usulan tersebut mendapat sambutan positif dan dukungan para ulama dan pelajar Hauzah yang berpikiran reformis. Di sisi lain, politik rezim Syah mengalami kegagalan. Rancangan Anjomanha-ye Eyalati va Velayati yang mencabut syarat status keislaman, sumpah dengan Al-Quran, dan berjenis kelamin pria bagi para pemilih dan kandidat pemilihan umum, disahkan oleh kabinet PM Amir Asadollah Alam pada tanggal 16 Mehr 1341 HS (8 Oktober 1962). Kebebasan memilih bagi perempuan, sejatinya merupakan kedok untuk menyembunyikan agenda tersembunyi rezim Syah. Penghapusan dan perubahan dua syarat pertama di atas merupakan upaya untuk melegalkan kehadiran oknum-oknum Bahaism di pemerintahan. Sebelum itu, AS mengumumkan bahwa pihaknya akan membela Syah jika rezim ini mendukung rezim zionis Israel dan meningkatkan hubungan kerjasama Tehran-Tel Aviv. Pengaruh kubu Bahai yang didukung kekuatan penjajah Inggris, baik di kalangan pemerintah, parlemen, maupun yudikatif Iran berhasil merealisasikan syarat yang diinginkan oleh AS. Segera setelah disahkannya rancangan tersebut, Imam Khomeini bersama para ulama besar Qom dan Tehran mengadakan pertemuan, lantas diteruskan dengan menggelar aksi protes massal. Peran pencerahan Imam Khomeini dalam mengungkap agenda gelap rezim Syah dan mengingatkan tugas berat para ulama dan Hauzah Ilmiah amat berperan penting dalam situasi kritis saat itu. Pelbagai telegram dan surat protes terbuka para ulama kepada Syah dan Perdana Menteri Asadollah Alam memantik dukungan luas rakyat Iran. Nada bicara surat protes Imam Khomeini kepada Syah dan Perdana Menteri begitu pedas dan keras. Dalam salah satu surat protes ini dinyatakan, “Saya kembali menesehati Anda untuk taat kepada Allah swt dan konsititusi. Takutlah kalian pada akibat buruk dari melanggar Al-Quran, hukum para ulama dan pemimpin kaum muslimin, serta undang-undang dasar. Janganlah kalian sengaja dan tanpa sebab menyeret negara ke dalam kondisi bahaya. Karena jika tidak, para ulama Islam tidak akan berdiam diri melontarkan pandangannya mengenai kalian”. Dengan demikian, peristiwa Anjomanha-ye Eyalati va Velayati merupakan pengalaman kemenangan yang sangat berharga bagi rakyat Iran. Terlebih, kemenangan tersebut merupakan kesempatan bagi rakyat Iran untuk mengenal figur pemimpin umat Islam yang layak dari berbagai dimensi, semacam Imam Khomeini. Namun demikian, meski skenario politik Syah mengalami kegagalan dalam kasus Anjomanha, tekanan AS untuk melakukan reformasi terus berlangsung. Akhirnya pada bulan Dey 1341 (Januari 1963), Syah mengajukan enam prinsip reformasinya yang dikenal sebagai Revolusi Putih, dan menghendaki digelarnya referendum. Kebijakan reformasi rancangan AS ini mendapat tanggapan serius para ulama. Untuk kesekian kalinya Imam Khomeini mengajak para marji dan ulama Qom untuk mencari solusi dan langkah bersama. Imam Khomeini mengusulkan untuk memboikot pesta perayaan tahun baru tradisional (Nouruz) Iran 1341 HS (Maret 1963) sebagai bentuk protes terhadap kebijakan Syah. Dalam statemennya, Imam Khomeini menyebut Revolusi Putih rancangan AS sebagai revolusi hitam dan beliau membongkar tujuan AS dan rezim zionis Israel di balik program revolusi tersebut. Tentu saja gelombang protes para ulama benar-benar memukul posisi Syah. Dalam berbagai pertemuan terbukanya dengan masyarakat, Imam Khomeini mengajak rakyat Iran untuk bangkit dan secara terang-terangan menyebut Syah sebagai pelaku utama kejahatan dan sekutu rezim zionis. Imam Khomeini dalam pidatonya pada tanggal 12 Farvardin 1342 (1 April 1963) mengkritik keras sikap bungkam para ulama Qom dan Najaf serta negara-negara muslim lainnya di hadapan kejahatan rezim zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Dalam pidatonya itu, Imam menyatakan, “Hari ini, sikap membisu sama artinya dengan mendukung penguasa zalim”. Sehari setelah itu, 13 Farvardin 1342 (2 April 1963), Imam Khomeini mengeluarkan statemen tertulisnya yang terkenal dengan tajuk “Bersahabat dengan Syah Berarti Penjarahan”. Sejatinya, rahasia pengaruh besar pesan dan pernyataan Imam Khomeini terhadap jiwa pendengarnya hingga mereka rela berkorban, terletak pada kemurnian pemikiran, kekuatan pandangan, dan kejujuran Imam Khomeini kepada masyarakat. Tahun 1342 HS (1963) diawali dengan boikot pesta perayaan tahun baru tradisional (Nouruz) Iran dan peristiwa berdarah di madrasah Faiziyah Qom. Satu sisi, Syah begitu berhasrat untuk menerapkan Revolusi Putih sebagaimana yang diinginkan oleh AS, namun di sisi lain Imam Khomeini terus berjuang menyadarkan rakyat dan bangkit menentang campur tangan AS dan pengkhianatan Syah terhadap bangsanya sendiri. Pada tanggal 14 Farvardin 1342 (3 April 1963), Ayatollah Al-Udzma Hakim di Najaf, Irak, mengirim telegram kepada para ulama dan maraji Iran yang berisi ajakan untuk hijrah ke Najaf secara massal. Usulan ini merupakan upaya untuk menyelamatkan para ulama dan tokoh hauzah. Namun demikian, tanpa mempedulikan ancaman dan tekanan Syah, Imam Khomeini membalas telegram Ayatollah Hakim. Dalam telegramnya itu, Imam Khomeini menilai bukan maslahat jika para ulama hijrah secara massal ke Najaf dan membiarkan Hauzah Ilmiah Qom dalam keadaan kosong. Imam Khomeini dalam pesannya tertanggal 12 Ordibehesht 1342 HS (2 Mei 1963) memperingati 40 hari terjadinya tragedi Faiziyah menegaskan perlunya ulama dan rakyat Iran untuk bersama-sama mendukung para pemimpin negara-negara Islam dan pemerintahan Arab menentang rezim zionis Israel serta mengutuk persekutuan Syah dengan rezim zionis. Kebangkitan 15 Khordad Bulan Muharram datang bersamaan dengan bulan Khordad 1342 HS. Imam Khomeini memanfaatkan moment tersebut untuk menggerakkan rakyat Iran bangkit melawan rezim diktator Syah Pahlevi. Pada sore Asyura 13 Khordad 1342 HS (3 Juni 1963) Imam Khomeini menyampaikan pidato bersejarahnya di madrasah Faiziyah Qom. Pidato ini merupakan titik awal kebangkitan 15 Khordad. Dalam pidatonya ini, Imam secara lantang berbicara kepada Syah dan menyatakan, “Tuan, saya menasehati Anda. Wahai Syah! Wahai yang terhormat Syah! Saya menasehati Anda agar meninggalkan seluruh upaya yang membuat Anda menjadi lalai. Saya tak ingin, suatu hari jika Anda hendak pergi justru disyukuri oleh semua pihak…Jika engkau didikte dan diperintah membaca, berpikirlah pada sekelilingmu…Dengarlah nasehat saya. Apa sebenarnya hubungan Syah dengan Israel, sehingga pihak keamanan melarang untuk tidak angkat bicara soal Israel…Apakah Syah adalah orang Israel?” Syah mengeluarkan perintah untuk menumpas gerakan kebangkitan rakyat. Mulanya, pihak keamanan menangkap banyak sahabat dan pendukung Imam Khomeini pada malam 14 Khordad (4 Juni 1963). Kemudian, pada pukul 3 pagi, 15 Khordad 1342 HS (5 Juni 1963), ratusan tentara Syah mengepung rumah Imam Khomeini. Mereka menangkap Imam saat beliau sedang menjalankan shalat malam dan segera membawanya ke Tehran. Beliau dijebloskan di penjara Bashgah-e Afsaran. Sore harinya, beliau dipindahkan ke penjara Ghasr. Pagi tanggal 15 Khordad berita penangkapan Imam Khomeini pun menyebar ke kota-kota besar Iran, seperti Qom, Tehran, Mashhad, Shiraz, dan kota-kota lainnya. Jenderal Hossein Fardust, orang kepercayaan Syah, dalam kesaksiannya menuturkan bahwa upaya penumpasan gerak kebangkitan 15 Khordad dilakukan dengan memanfaatkan pelbagai pengalaman dan bekerjasama dengan para politisi dan petugas intelijen paling handal AS. Fardust juga mengungkapkan betapa terguncangnya Syah, kalangan istana, para petinggi militer dan agen mata-mata Iran (SAVAK) saat terjadinya aksi kebangkitan 15 Khordad. Ia juga membeberkan bagaimana Syah dan para jenderal arogan mengeluarkan perintah penumpasan gerakan rakyat. Setelah 19 hari mendekam di penjara Ghasr, Imam Khomeini dipindahkan ke sebuah penjara di pangkalan militer Eshrat Abad. Dengan ditangkapnya pemimpin revolusi, Imam Khomeini, dan dilancarkannya pembantaian massal pada peristiwa 15 Khordad, tampaknya gerak revolusi sudah berhasil dipadamkan. Di penjara, Imam Khomeini dengan beraninya menolak seluruh pertanyaan yang diajukan dalam proses intrograsi. Beliau dengan lantang menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga yudikatif Iran adalah penguasa yang ilegal dan tidak sah. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, pada malam 18 Farvardin 1343 HS (7 April 1964), Imam Khomeini akhirnya dibebaskan dan dipindahkan ke Qom. Kabar pembebasan Imam pun menyebar luas dan disambut gembira oleh rakyat. Peringatan tahun pertama hari Kebangkitan 15 Khordad pada tahun 1343 HS (5 Juni 1964) diperingati dengan dirilisnya statemen bersama Imam Khomeini dan para marji taqlid lainnya serta pernyataan terpisah Hauzah Ilmiah. Hari itu dinyatakan sebagai hari duka. Pada tanggal 4 Aban 1343 HS (26 Oktober 1964) Imam Khomeini mengeluarkan statemen revolusioner dan menyatakan, “Dunia harus tahu, setiap musibah yang menimpa bangsa Iran dan bangsa-bangsa muslim lainnya bersumber dari pihak asing, dari AS. Secara umum, bangsa-bangsa Islam membenci pihak asing, khususnya AS. Amerikalah yang mendukung rezim zionis Israel dan para sekutunya. Amerikalah yang memberi kekuatan pada Israel hingga membuat warga muslim Arab terlantar”. Penentangan Imam Khomeini dan terungkapnya agenda AS di balik rencana disahkannya rancangan Kapitulasi, mendorong rakyat Iran untuk bangkit kembali. Dini hari 13 Aban 1343 HS (4 November 1964), pihak keamanan dari Tehran kembali datang ke Qom dan mengepung rumah Imam Khomeini. Anehnya, seperti tahun sebelumnya, Imam

ditangkap saat beliau tengah menunaikan shalat malam. Imam pun ditangkap dan langsung di bawa menuju bandara Mehrabad, Tehran. Di bawah kawalan ketat pihak keamanan Imam diboyong ke Ankara, Turki dengan sebuah pesawat militer yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sore harinya agen intelijen Iran (SAVAK) mengumumkan berita pengasingan Imam Khomeini di koran-koran Iran dengan tuduhan merongrong keamanan negara. Meski situasi Iran berada di bawah tekanan pemerintah, namun gelombang protes dan demo tetap marak. Gelombang protes itu diwujudkan dalam bentuk aksi unjuk rasa warga di pasar besar Tehran, diliburkannya aktifitas Hauzah Ilmiah untuk jangka panjang, pengiriman kumpulan tanda tangan dan surat protes kepada lembaga-lembaga internasional dan para marji taqlid. Pengasingan Imam khomeini di Turki berlangsung selama 11 bulan. Selang masa itu, rezim syah dengan otoriternya berusaha menumpas total gerakan kebangkitan rakyat Iran yang masih tersisa dan dengan segera menerapkan rencana reformasi sebagaimana yang dirancang oleh AS. Masa pengasingan Imam Khomeini di Turki merupakan juga kesempatan bagi beliau untuk memulai penulisan buku Tahrirul-Wasilah. Pengasingan Imam Khomeini dari Turki ke Irak Tanggal 13 Mehr 1343 (5 Oktober 1965) Imam Khomeini bersama putranya, Ayatollah Haj Agha Mostafa dipindahkan dari Turki dan diasingkan ke Irak. Setelah memasuki Baghdad, Imam Khomeini segera memanfaatkan waktu yang ada untuk berziarah ke makam para Imam Ahlul Bait as seperti di Kadzimain, Samarra, dan Karbala. Seminggu setelahnya, Imam pergi ke tempat pengasingannya di Najaf. Meski selama di Irak, Imam Khomeini relatif lebih bebas ketimbang di Iran atau Turki, namun masa pengasingan di Najaf selama 13 tahun dimulai dengan maraknya penentangan, hasutan, dan fitnah musuh-musuh Imam, bahkan beliau juga mendapat penentangan keras dari kalangan yang berkedok ulama. Imam bahkan menyebut masa pengasingan di Irak sebagai babak perjuangan yang begitu pahit. Namun begitu, beliau tetap sabar menghadapi segala tantangan yang ada dan terus melanjutkan perjuangannya. Di bawah tekanan para penentangnya, Imam Khomeini mulai mengajar rangkaian pelajaran fiqih tingkat tingginya di masjid Syeikh Anshari, Najaf pada bulan Aban 1344 HS (sekitar November 1965). Kegiatan mengajar tersebut beliau lanjutkan hingga akhirnya beliau pindah ke Paris. Pelajaran fiqih Imam terkenal sebagai salah satu kelas Hauzah Ilmiah Najaf paling berbobot dan diminati. Hubungan Imam Khomeini dengan kawan-kawan seperjuangannya di Iran masih beliau jalin lewat pengiriman surat dan utusan. Imam Khomeini selalu memandu mereka dan mengajak mereka untuk tetap bertahan memperjuangkan cita-cita Kebangkitan 15 Khordad. Di masa-masa pasca pengasingan, Imam Khomeini tak pernah menyerah untuk berhenti berjuang meski didera berbagai tekanan dan ancaman. Ceramah-ceramah dan pesan-pesan tertulis Imam Khomeini selalu mengobarkan harapan kemenangan di hati setiap rakyat Iran. Pada tanggal 19 Mehr 1347 HS (11 Oktober 1968), dalam dialognya dengan utusan gerakan Fatah, Palestina, Imam Khomeini memaparkan pandangannya tentang persoalan dunia Islam dan perjuangan rakyat Palestina. Dalam dialog ini pula, Imam Khomeini mengeluarkan fatwa yang mewajibkan untuk menyisihkan sebagian harta zakat bagi kepentingan para pejuang Palestina. Pada awal tahun 1348 HS (1969), perselisihan antara rezim Syah dan partai Ba’ath yang berkuasa di Irak soal perbatasan air Iran-Irak makin memuncak. Pemerintah Irak mengusir banyak warga Iran yang bermukim di Irak. Mereka juga berupaya memanfaatkan permusuhan Imam Khomeini dengan rezim Syah. Setelah 4 tahun mengajar di Hauzah Najaf dan berjuang keras mencerahkan masyarakat di sekitarnya, Imam Khomeini relatif berhasil mengubah situasi Hauzah Ilmiah Najaf. Akhirnya pada tahun 1348 HS (1969) Imam Khomeini tidak hanya berhasil menjaring dukungan dari dalam negeri Iran, tapi juga berhasil menarik dukungan masyarakat muslim lainnya seperti dari Irak, Lebanon dan negara-negara Islam yang lain. Paradigma perjuangan Imam Khomeini mereka jadikan sebagai model perjuangan mereka. Perjuangan Tak Kenal Menyerah Imam Khomeini (1350-1356 HS) Paruh kedua tahun 1350 (menjelang akhir tahun 1971), perselisihan antara rezim Ba’ast Irak dan Syah Iran makin memanas. Perselisihan itu diikuti dengan diusirnya warga Iran yang bermukim di Irak. Dalam telegramnya kepada Presiden Irak di masa itu, Imam Khomeini mengecam keras aksi pengusiran tersebut. Dalam situasi semacam itu, Imam Khomeini bertekad untuk segera keluar dari Irak. Namun pemerintah Baghad tanggap dengan dampak dari keluarnya Imam Khomeini dari Irak sehingga Imam pun dilarang meninggalkan Irak. Pada tahun 1354 HS (Juni 1975) bersamaan dengan peringatan hari Kebangkitan 15 Khordad, madrasah Faiziyah kembali menjadi pentas kebangkitan para santri revolusioner Iran. Yel-yel ‘Hidup Khomeini dan matilah dinasti Pahlevi’ terus membahana selama dua hari berturut-turut. Padahal, sebelum peristiwa ini, banyak organisasai-organisasi perjuangan rakyat yang telah dilumpuhkan, para tokoh keagamaan dan politik yang aktif berjuang ramai yang dijebloskan ke penjara. Di sisi lain, Syah terus melanjutkan politik anti-Islamnya. Kebijakan anti-Islamnya itu ditandai dengan diubahnya dasar kalender nasional Iran pada bulan Esfand 1354 HS (Maret 1976). Selama ini, dasar kalender nasional Iran dihitung sejak dimulainya hijrah Nabi Muhammad saw. Namun dasar tersebut diubah oleh Syah dengan menetapkan masa dimulainya kekuasaan dinasti Achemanid sebagai dasar perhitungan kalender nasional Iran. Mereaksi hal itu, Imam Khomeini mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan kalender nasional Iran versi Syah. Rakyat Iran pun mendukung penuh fatwa Imam Khomeini tersebut, mereka juga turut mendukung diboikotnya Partai Rastakhiz (Kebangkitan). Kedua masalah ini merupakan pukulan berat bagi rezim Syah hingga akhirnya pada tahun 1357 (1978), Syah terpaksa melangkah mundur dan membatalkan penggunaan kalender nasional versi pemerintah. Geliat Revolusi Islam dan Kebangkitan Rakyat Dengan begitu teliti dan cermat, Imam Khomeini terus memantau perkembangan terbaru di Iran maupun dunia internasional. Beliau juga amat tanggap dalam memanfaatkan secara maksimal kesempatan yang muncul. Imam Khomeini pada bulan Mordad 1356 HS (Agustus 1977) dalam pesan tertulisnya menyatakan, “Kini, lewat situasi dalam dan luar negeri yang ada, serta dengan terungkapnya kejahatan rezim Syah di mata publik dan media asing merupakan kesempatan bagi kalangan ilmuan, budayawan, tokoh nasionalis, mahasiswa dalam dan luar negeri, dan organisasi-organisasi Islam di mana pun berada untuk tanggap memanfaatkan peluang yang ada dan bangkit secara terbuka”. Gugur syahidnya, putra Imam Khomeini, Ayatollah Haj Agha Mostafa Khomeini, pada awal bulan Aban 1356 HS (23 Oktober 1977) merupakan titik tolak gerakan kebangkitan kembali komunitas Hauzah dan masyarakat muslim Iran. Imam Khomeini bahkan menyebut peristiwa itu sebagai anugrah tersembunyi ilahi. Sementara itu rezim Syah membalas aksi Imam Khomeini dengan melansir sebuah artikel di koran Ettela’at . Artikel ini berisi hinaan terhadap Imam Khomeini. Protes luas rakyat Iran terhadap artikel tersebut berujung dengan melutusnya peristiwa Kebangkitan 19 Dey 1356 HS (9 Januari 1978) di Qom. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah santri pendukung revolusi gugur syahid akibat tindak represif pihak keamanan. Meski Syah melancarkan aksi pembantaian massal untuk melumpuhkan gejolak kebangkitan rakyat, namun ia tetap gagal memadamkannya. Dari Najaf ke Paris Pertemuan para menteri luar negeri Iran dan Irak di New York memutuskan untuk mengeluarkan Imam Khomeini dari Irak. Hari kedua bulan Mehr 1357 HS (24 September 1978) rumah Imam Khomeini di Najaf di epung oleh tentara Ba’ath Irak. Tersebarnya berita ini menyulut kemarahan luas umat Islam di Iran, Irak, dn negara-negara lainnya. Pada tanggal 12 Mehr 1357 HS (4 Oktober 1978), Imam Khomeini berencana meninggalkan Najaf menuju perbatasan Kuwait. Namun pemerintah Kuwait atas desakan rezim Syah menolak Imam Khomeini memasuki negara ini. Rencana hijrah ke Lebanon dan Syria pun sempat dibicarakan, namun setelah bermusyawarah dengan putranya, Hojjatul Islam Haj Sayed Ahmad Khomeini, Imam khomeini akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Paris. Tanggal 14 Mehr 1357 HS (6 Oktober 1978), Imam Khomeini memasuki Paris. Dua hari setelahnya, Imam Khomeini tinggal di kediaman salah seorang warga Iran mukim Perancis di Nofel Loshato, sebuah kota kecil di pinggiran Paris. Para pejabat Perancis menyampaikan pandangan presiden negaranya kepada Imam Khomeini yang berisi desakan untuk menjauhi segala bentuk aktifitas politik selama tinggal di Perancis. Mereaksi desakan tersebut, Imam Khomeini secara lantang menegaskan bahwa pembatasan semacam itu bertentangan nyata dengan slogan demokrasi yang selama ini didengung-dengungkan oleh Perancis. Beliau bahkan menyatakan tidak akan berhenti memperjuangkan cita-citanya meski harus berpindah-pindah dari satu airport ke airport lainnya. Pada bulan Dey 1357 HS (Januari 1979), Imam Khomeini membentuk Dewan Revolusi Islam. Sementara Syah Iran kabur meninggalkan Iran pada tanggal 26 Dey 1357 HS (16 Januari 1979) setelah terbentuknya Dewan Kerajaan dan pengambilan mosi kepercayaan atas kabinet PM Bakhtiar. Berita kepergian Syah pun menyebar ke Tehran dan akhirnya ke seluruh pelosok negeri. Berita pun ini disambut dengan suka cita oleh seluruh rakyat Iran. Imam Khomeini Kembali ke Iran Awal bulan Bahman 1357 HS (akhir Januari 1979), kabar tentang keputusan Imam Khomeini untuk kembali ke tanah airnya tersebar luas. Bagi rakyat Iran, kabar tersebut merupakan berita gembira yang paling dinanti-nantikan. Sekitar 14 tahun rakyat Iran merindukan kembalinya Imam Khomeini ke negerinya. Meski demikian, mereka juga amat mengkhawatirkan keselamatan jiwa pemimpin revolusi itu. Sebab hingga saat itu, pemerintah buatan Syah masih bercokol dan Iran berada di bawah kendali militer. Kendati situasi di Iran masih begitu kritis dan berbahaya, namun Imam Khomeini bertekad untuk kembali ke tanah airnya. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan bahwa dirinya ingin bersama rakyat di saat-saat yang paling menentukan dan kritis. PM Bakhtiar bersama pihak militer menutup seluruh bandar udara negara untuk penerbangan asing. Namun setelah beberapa hari, pemerintah Bakhtiar tak sanggup bertahan dan terpaksa memenuhi desakan rakyat. Akhirnya pagi 12 Bahman 1357 (1 Februari 1979) setelah 14 tahun hidup di pengasingan, Imam Khomeini kembali ke tanah air tercintannya. Rakyat Iran menyambut kedatangan Imam Khomeini secara besar-besaran dan penuh suka cita. Menurut pengakuan media-media Barat, warga yang menyambut kedatangan Imam Khomeini di jalan-jalan kota Tehran mencapai sekitar 4 sampai 6 juta orang. Selamat Jalan Imam! Imam Khomeini telah menyampaikan seluruh tujuan dan cita-cita perjuangan yang mesti diungkapkan. Dalam prakteknya pun, beliau mengerahkan seluruh daya dan upaya yang dimilikinya untuk merealisasikan cita-cita tersebut. Kini menjelang paruh kedua bulan Khordad 1368 (Juni 1989), Imam Khomeini seakan tengah mempersiapkan dirinya untuk menemui Sang Kekasih, Dzat Maha Suci yang selama ini seluruh perjuangan Imam senantiasa ditujukan untuk mengabdi kepada-Nya. Seluruh rintihan dan puisi sufistik Imam Khomeini merupakan jelmaan dari derita perpisahannya dengan Sang Kekasih dan kerinduannya untuk bertemu dengan Dia. Dan kini, saat-saat perpisahan Imam Khomeini dengan rakyatnya pun telah tiba. Dalam surat wasiatnya beliau menulis, “Dengan hati yang damai, kalbu yang tenang, jiwa yang bahagia dan diri yang penuh harapan kepada karunia ilahi, saya mohon pamit kepada Saudari dan Saudara sekalian menempuh perjalanan menuju tempat keabadian. Saya sangat memerlukan doa baik kalian. Kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang saya meminta maaf atas segala kekurangan dan kesalahan saya dalam berkhidmat. Saya juga berharap bangsa Iran bisa menerima maaf saya atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada. Saya berharap bangsa Iran bisa terus melangkah maju dengan teguh, tekad, dan kehendak”. Yang menakjubkan beberapa tahun sebelum beliau wafat, Imam Khomeini dalam salah satu puisinya pernah menuturkan: Aku menanti datangnya anugrah ilahi di paruh Khordad Tahun demi tahun berlalu Peristiwa demi peristiwa berganti Sabtu 13 Khordad 1367 HS, pukul 22.20 adalah saat-saat perpisahan. Sebuah jantung yang menghidupkan jutaan jantung-jantung lainnya dengan sinaran ilahi dan spiritualitas, berhenti berdetak. Lewat kamera tersembunyi yang terpasang di ruang perawatan Imam Khomeini, di sebuah rumah sakit di Tehran, masa-masa operasi jantung dan detik-detik kepergian sang pemimpin revolusi, seluruhnya terekam sebagai dokumen sejarah. Menjelang masa-masa akhir, kondisi ruhani dan jasmani Imam Khomeini ditayangkan lewat televisi. Tangis dan duka rakyat Iran pun tak bisa ditahan. Bibir Imam Khomeini selalu mengisyaratkan rangkaian dzikir yang tak putus-putusnya. Di malam terakhir hidupnya, setelah menjalani operasi jantung yang sangat berat dan melelahkan di usianya yang ke-87 tahun, beliau masih menyempatkan diri untuk menunaikan ibadah shalat malam meski kedua tangannya masih dipenuhi serum dan infus. Beliau masih meluangkan dirinya untuk membaca kalam suci Al-Quran. Saat detik-detik akhir mulai menjelang, raut muka Imam Khomeini terlihat seperti diliputi aura ketenangan dan penuh damai. Lidahnya tak pernah putus mengucap syahadat atas keesaan Allah dan risalah Rasulullah. Dalam suasana yang begitu pekat dengan cahaya surgawi inilah, jiwa Imam Khomeini terbang menuju keharibaan ilahi. Iran seakan terguncang hebat, saat berita wafatnya Imam Khomeini diumumkan. Seantero Iran dan seluruh sudut dunia yang mengenal pesan dan perjuangan Imam Khomeini tenggelam dalam duka. Tak ada ungkapan dan tulisan yang bisa melukiskan betapa sedihnya rakyat dan umat revolusioner saat melepas kepergian sang Imam, pemimpin agung yang berhasil melepaskan negerinya dari jeratan kezaliman penguasa yang diktator dan campur tangan asing, sosok yang berhasil menghidupkan kembali Islam, mengembalikan kemuliaan umat Islam, mendirikan Republik Islam, seorang ulama besar yang tak gentar menghadapi dua kekuatan adidaya dunia, Timur dan Barat. Selama 10 tahun Imam Khomeini bertahan menghadapi segala bentuk konspirasi penggulingan, kudeta, kerusuhan, dan pelbagai fitnah. Selama delapan tahun, beliau tetap teguh memimpin jihad pertahanan suci menghadapi agresi militer rezim Ba’ath Irak yang didukung oleh dua adidaya dunia, Timur dan Barat. Rakyat benar-benar kehilangan seorang pemimpin tercinta, ulama besar, dan pejuang Islam yang sejati. Mungkin tak ada siapapun yang kuasa untuk menafsirkan perpisahan ini, ketika mereka mendengar betapa banyak pecinta Imam Khomeini yang meninggal dunia lantaran tak mampu menahan pedihnya perpisahan, ketika mereka melihat betapa banyak rakyat yang kehilangan kesadarannya saat melihat jenazah Imam Khomeini disemayamkan, dan ketika menyaksikan jutaan pengagum sang pemimpin revolusi tenggelam dalam tangis dan duka yang mendalam. Namun bagi mereka yang pernah merasakan manisnya cinta, tentu mudah memahami hakikat semua ini. Benar, rakyat Iran sungguh jatuh cinta kepada Imam Khomeini. Dalam selarik puisi yang begitu indah, rakyat Iran menuturkan, “Cinta kepada Khomeini adalah cinta kepada seluruh kebaikan”. Tanggal 14 Khordad 1368 HS (4 Juni 1989), Dewan Ahli Kepemimpinan Revolusi Islam menggelar sidang. Setelah dibacakannya wasiat Imam Khomeini oleh Ayatollah Ali Khamenei yang berlangsung selama dua setengah jam, pembahasan mengenai calon pengganti Imam Khomeini dan pemimpin tertinggi revolusi dimulai. Setelah beberapa jam berlalu, presiden Iran saat itu, Ayatollah Sayid Ali Khamenei terpilih sebagai pemimpin tertinggi revolusi Islam. Beliau adalah salah satu murid dekat Imam Khomeini, tokoh terkemuka pejuang revolusi, dan sahabat seperjuangan yang selalu menyertai Imam di segala keadaaan. Selama bertahun-tahun, Barat dan anasir bonekanya di dalam negeri Iran merasa putus asa untuk menumbangkan Imam Khomeini dan mereka selalu menantikan wafatnya beliau. Namun rakyat Iran begitu waspada dan tanggap. Dengan segera rakyat mendukung keputusan Dewan Ahli yang memilih Ayatollah Sayid Ali Khamenei sebagai pemimpin revolusi sehingga konspirasi musuh pun gagal kembali. Selama ini musuh mengira dengan wafatnya Imam Khomeini , Revolusi Islam pun berakhir. Namun nyatanya, kepergian Imam justru menempatkan era Khomeini ke ranah yang lebih luas dari sebelumnya. Sebab, apakah mungkin pemikiran luhur, kebaikan, spritualitas, dan hakikat bisa musnah? Siang dan malam 15 Khordad 1368 HS (5 Juni 1989), jutaan warga Iran yang datang dari pelbagai kota dan desa datang ke Tehran, memenuhi Mushalla Besar Tehran, untuk melepas kepergian Imam Khomeini yang terakhir kalinya. Dalam upacara pemakamam agung itu, tak terlihat suasana upacara resmi kenegaraan sebagaiman yang biasa dilakukan dalam prosesi pemakaman seorang pemimpin negara. Yang terlihat hanya suasana kerakyatan dan penuh cinta sebuah bangsa revolusioner yang berduka dan menangis melepas pemimpinnya menuju ke haribaan ilahi. Dari kejauhan terlihat jenazah Imam yang terbaring damai di tengah lautan pecintanya yang berduka. Setiap orang berbicara kepada Imamnya dengan bahasa masing-masing sembari menetaskan air mata. Seluruh jalanan yang menuju Mushalla Besar Tehran penuh dengan lautan manusia berbusana hitam, yang mengisyaratkan betapa pedihnya sebuah perpisahan. Bendera-bendera tanda duka terpasang di sudut-sudut kota, lantunan kalam suci Al-Quran terdengar bersahutan di masjid-masjid, rumah-rumah dan perkantoran. Saat malam tiba, ribuan lilin di sekeliling Mushalla Besar Tehran dinyalakan untuk mengenang kobaran revolusi yang dinyalakan Imam. Malam itu, mata seluruh rakyat yang berduka menatapi nyala lilin, seakan mengenang seluruh pengorbanan yang diberikan Imam Khomeini kepada bangsanya. Teriakan “Ya…Husein” para pecinta Imam Khomeini yang merasa menjadi yatim, mengubah malam penuh duka itu menjadi seperti malam-malam Asyura, malam yang begitu tragis saat Imam Husein as, cucu Rasulullah saw dibantai di padang Karbala oleh para durjana. Mereka sadar, suara lembut Imam Khomeini tak akan terdengar lagi di Huseiniyeh Jamaran, tempat di mana Imam biasa mengutarakan cermah-ceramahnya kepada rakyat Iran. Rakyat terus mendampingi jenazah Imam hingga pagi tiba. Awal pagi 16 Khordad 1368 HS (6 Juni 1989), sembari meneteskan air mata jutaan manusia menggelar shalat jenazah yang diimami oleh Ayatollah Al-Udzma Golpaygani. Lautan manusia di saat itu mengingatkan kembali pada peristiwa penyambutan besar-besaran rakyat Iran yang menyambut kedatangan Imam Khomeini dari pengasingan pada tanggal 12 Bahman 1357 HS (1 Februari 1979). Dua peristiwa besar yang akan senantiasa diingat oleh sejarah. Media-media massa dunia memperkirakan, lautan pelayat Imam Khomeini saat itu sekitar 9 juta orang, sementara pada peristiwa penyambutan 12 Bahman, diperkirakan sekitar 6 juta orang. Padahal selama 11 tahun lebih kepemimpinan Imam Khomeini di Iran, beragam fitnah, konspirasi, tekanan dan ancaman negara-negara adidaya, tak pernah berhenti mendera rakyat Iran. Melihat kondisi yang demikian itu, semestinya rakyat Iran sudah letih dengan pelbagai kesulitan yang ada. Namun ajaibnya, justru di tengah pelbagai cobaan dan ujian berat tersebut, rakyat Iran semakin matang dan tegar. Generasi hasil didikan ideologi ilahi Imam Khomeini benar-benar memegang teguh ajaran beliau yang berbunyi, “Beban menahan kerja keras, kesusahan, pengorbanan, kesyahidan, dan derita di dunia sebanding dengan besarnya tujuan, kebernilaian dan ketinggian peringkat tersebut”. Setelah melihat bahwa prosesi pemakaman tak mungkin dilanjutkan di tengah emosi penuh duka rakyat Iran, pemerintah mengumumkan untuk menunda pemakaman dan meminta para pelayat kembali ke rumahnya masing-masing sampai pengumuman berikutnya. Namun di sisi lain, mengingat bahwa penundaan prosesi pemakaman bisa menambah jumlah pelayat yang makin banyak berdatangan dari kota-kota lainnya, maka pemerintah pun memutuskan untuk mengebumikan jenazah Imam Khomeini selepas dzuhur hari itu juga. Prosesi pemakaman pun berlangsung di tengah himpitan lautan manusia yang tenggelam dalam tangis dan duka. Lewat siaran pelbagai media massa, seluruh dunia juga turut menyaksikan prosesi pemakaman seorang pemimpin agung Revolusi Islam ini. Dengan demikian seperti halnya masa-masa hidup Imam Khomeini yang menjadi sumber perjuangan dan kebangkitan, saat-saat kepergian beliau pun seperti itu juga. Semoga abadilah dia. Karena dia adalah hakikat dan hakikat akan senantiasa abadi dan tak kenal fana!

Minggu, 06 Februari 2011

Islam dan Syiah



.
a. Agama

Tak syak lagi bahwa setiap orang dalam kehidupannya—secara fitrah—memiliki kecenderungan kepada sesamanya. Di lingkungan sosial dan kehidupan, ia melakukan aktifitas-aktifitas secara kolektif dan seluruh aktifitas yang dilakukannya selalu berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Seluruh aktifitas manusia, seperti makan, minum, tidur, bangun, berucap, mendengarkan, duduk, berjalan, dan berhubungan dengan sesamanya memiliki relasi yang sempurna, meskipun secara lahiriah terpisah antara yang satu dengan yang lainnya. Setiap aktifitas tidak dapat dilakukan di setiap tempat dan setelah melakukan setiap aktifitas yang lain. Bahkan, dalam hal ini terdapat sebuah sistem (yang mendominasi).
Dengan demikian, seluruh aktifitas yang dilakukan oleh manusia dalam dunia kehidupannya mengikuti sebuah sistem tidak dapat ia langgar. Pada hakikatnya, seluruh aktifitas tersebut bersumber dari sebuah muara. Muara itu adalah keinginannya untuk memiliki sebuah kehidupan yang bahagia; kehidupan yang dapat mewujudkan seluruh keberhasilan, cita-cita, dan keinginannya. Dengan kata lain, dari sisi keabadian wujud, ia ingin—semampu mungkin—untuk memenuhi seluruh kebutuhannya secara lebih sempurna (sehingga ia dapat hidup lebih abadi).
Berangkat dari sini, manusia selalu ingin mengakomodasikan seluruh perilakunya dengan undang-undang yang dibuatnya sendiri atau diambil dari orang lain, dan ingin menjalankan metode tertentu dalam hidupnya. Ia bekerja untuk menyediakan seluruh sarana kehidupan, karena ia menganggap penyediaan sarana tersebut sebagai sebuah undang-udang (hidup). Ia makan dan minum untuk mencapai sebuah kelezatan, menghilangkan rasa lapar dan dahaga, karena ia melihat makan dan minum demi kelangsungan dirinya adalah suatu yang urgen. Dan demikian seterusnya.
Undang-undang dan seluruh peraturan yang mendominasi kehidupan manusia berlandaskan pada sebuah keyakinan (aqîdah) yang fundamental. Ia selalu berpegang teguh kepadanya dalam menjalani kehidupan ini. Keyakinan itu adalah gambaran yang ia miliki tentang dunia semesta di mana ia sendiri termasuk salah satu dari partikelnya dan juga sikap yang diambil dalam (menafsirkan) hakikatnya. Dan masalah ini dapat menjadi jelas dengan kita merenungkan seluruh pemikiran dan pendapat berbeda yang dimiliki oleh umat manusia tentang hakikat alam semesta.
Sebagian orang berkeyakinan bahwa alam semesta hanyalah dunia materi yang dapat diindra semata. Manusia adalah sebuah fenomena yang—seratus persen—bersifat materi. Ia akan ada dengan peniupan ruh kepadanya dan akan binasa dengan datangnya ajal. Dengan keyakinan seperti, metode mereka dalam menjalani hidup ini hanya berkisar pada pemenuhan seluruh keinginan materi dan kelezatan duniawi yang hanya berusia seumur jagung itu. Seluruh usaha mereka akan dikerahkan untuk menundukkan seluruh faktor dan kekuatan alam (materi) terhadap diri mereka.
Ada juga sebagian orang seperti para penyembah berhala yang berkeyakinan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh tuhan yang lebih tinggi dari (hakikat)nya. Di samping telah menciptakan alam semesta, tuhan itu juga menciptakan manusia secara khusus dan mencurahkan segala nikmat kepadanya sehingga ia dapat menikmati seluruh kebaikan yang telah diberikan oleh tuhan tersebut. Dengan keyakinan seperti ini, mereka akan mengatur program kehidupan sedemikian rupa sehingga mereka dapat membahagiakan tuhan itu dan menghindari segala perilaku yang dapat mendatangkan kemurakaannya. Mereka berkeyakinan bahwa jika mereka dapat membahagiakannya, niscaya ia akan menambah dan mengabadikan nikmat tersebut. Tetapi jika mereka membuatnya murka, niscaya ia akan mencabut seluruh nikmat tersebut dari tangan mereka.
Kelompok ketiga hanya beriman kepada Allah. Di samping itu, mereka juga meyakini bahwa ada sebuah kehidupan yang abadi bagi manusia, dan juga hari hisab dan pemberian pahala. Dalam kehidupan ini, ia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya, baik yang baik maupun yang buruk. Mereka ini seperti para pengikut agama Majusi, Yahudi, Kristen, dan Islam. Berdasarkan keyakinan tersebut, mereka pasti akan memilih sebuah jalan dalam kehidupan ini yang dapat menjamin perealisasian pondasi keyakinan tersebut dan mewujudkan kebahagiaan di dunia ini dan dunia akhirat kelak.
Kumpulan keyakinan tentang hakikat manusia dan alam semesta, serta seluruh undang-undang yang sesuai dengannya dan dipraktikkan dalam menjalani kehidupan ini disebut “agama”. Jika terdapat cabang dalam agama tersebut, cabang itu disebut “mazhab”, seperti mazhab Syi‘ah dan Ahli Sunah dalam Islam, dan mazhab Malkânî dan Nasthûrî dalam Kristen.
Atas dasar ini, meskipun seseorang tidak meyakini adanya Tuhan, tetapi ia tidak pernah merasa tidak membutuhkan “agama” (program kehidupan yang berdiri tegak di atas sebuah pondasi keyakinan). Oleh karena itu, agama adalah metode menjalani kehidupan, dan ia tidak pernah terpisah dari kehidupan tersebut.
Al-Qur’an meyakini bahwa manusia tidak dapat melarikan diri dari “agama”. Agama adalah jalan yang telah dibuka oleh Allah swt. untuk manusia sehingga ia dapat menggapai kebahagiaan dengan mengamalkan seluruh ajarannya. Hanya saja, mereka yang bersedia menerima agama yang benar (Islam), sesungguhnya mereka telah meniti jalan Allah. Akan tetapi, mereka yang tidak menerima agama yang benar tersebut, maka mereka telah menyeleweng dari jalan Allah dan meniti jalan yang salah.[1]
b. Islam
Secara leksikal, Islam berarti menyerahkan diri. Al-Qur’an menamakan setiap agama yang mengajak kepada penyerahan diri dengan “Islam”. Hal itu lantaran seluruh program agama ini berkisar pada penyerahan diri manusia kepada Tuhan semesta alam.[2] Dengan penyerahan diri tersebut, ia tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Esa dan tidak menaati selain perintah-Nya. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang pertama yang menamakan agama ini dengan “Islam” dan menamakan para pemeluknya dengan “muslim” adalah Nabi Ibrahim as.[3]
c. Syi‘ah
Secara leksikal, “Syi‘ah” berarti pengikut. Syi‘ah meyakini bahwa kekhalifahan Rasulullah saw. adalah hak khusus keluarga risalah. Dalam menyelami pengetahuan Islam, mereka mengikuti ajaran Ahlul Bait as.[4]

[1] “… kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang zalim, [yaitu] orang-orang yang menghalang-halangi [manusia] dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu bengkok ….” (QS. Al-A‘râf [7]: 44-45)
[2] “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ….?” (QS. An-Nisâ’ [4]: 125)
“Katakanlah, ‘Hai ahli kitab! Marilah [berpegang] kepada suatu kalimat [ketetapan] yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, serta tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri [kepada Allah].’” (QS. Ali ‘Imran [3]: 64)
“Hai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam [penyerahan diri] secara keseluruhan ….” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
[3] “Ya Tuhan kami! Jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan [jadikanlah] di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu ….” (QS. Al-Baqarah [2]: 128)
“[Ikutilah] agama orang tuamu, Ibrahim. Ia telah menamai kamu semua orang-orang muslim [berserah diri] ….” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
[4] Sebagian golongan mazhab Zaidiyah yang masih meyakini kekhalifahan dua orang khalifah sebelum Ali as. dan mengamalkan fiqih Abu Hanifah dalam Furu’uddin juga dinamakan “Syi‘ah”. Hal itu lantaran mereka meyakini bahwa kekhalifahan hanya milik Ali dan keturunan beliau, ketika mereka berhadapan dengan Bani Umaiyah dan Bani Abasiah.

Sabtu, 05 Februari 2011

Ali Dan Ke'arifannya

Saya memuji Allah dengan memohon kelengkapan Rahmat-Nya dengan tunduk kepada Keagungan-Nya dan mengharapkan keselamatan dari ber-buat dosa kepada-Nya. Saya memohon pertolongan-Nya karena memerlukan kecukupan-Nya (untuk perlindungan). Orang yang ditunjuki-Nya tidak tersesat, orang yang memusuhi-Nya tidak mendapat perlindungan, orang yang didukung-Nya tidak akan tetap kekurangan. Pujian adalah yang paling berat dari semua yang ditimbang dan paling berharga dari semua yang disimpan.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Esa. Tidak ada yang menyerupai-Nya. Kesaksian saya telah teruji dalam keterbukaannya, dan hakikatnya adalah iman kami. Kami akan berpegang teguh padanya selama kami hidup dan akan menyimpannya dengan menghadapi azab yang me-nyusul kami karena ia adalah batu fondasi keimanan dan langkah pertama kepada amal saleh dan keridaan Ilahi. la adalah sarana untuk menjauhkan iblis.
Saya juga bersaksi bahwa Muhammad SAWW adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Allah mengutus-Nya dengan agama yang cemerlang, syiar yang efektif, Kitab yang terpelihara, cahaya yang bersinar, nyala yang kemilau, dan perintah yang tegas untuk mengusir keraguan, mengajukan bukti-bukti yang jelas, menetapkan peringatan melalui tanda-tanda, dan memperingatkan akan hukuman. Pada waktu itu manusia telah jatuh ke dalam kemungkaran yang dengan itu tali agama telah diputuskan, tiang-tiang keimanan telah tergoncang, prinsip-prinsip telah dicemari, sistem telah jungkir balik, pintu-pintu sempit, lorong-lorong gelap, petunjuk tidak dikenal, dan kegelapan merajalela.
Allah tidak ditaati, iblis diberi dukungan, dan keimanan telah dilupakan. Akibatnya, tiang-tiang agama runtuh, jejak-jejaknya tak terlihat, lorong-lorongnya telah dirusakkan dan jalan-jalannya telah binasa. Manusia menaati iblis dan melangkah pada jalan-jalannya. Mereka mencari air pada tempat-tempat pengairannya. Melalui mereka lambang-lambang iblis berkibar dan panjinya diangkat dalam kejahatan yang menginjak-injak manusia di bawah tapak kakinya, dan melangkah di atasnya dengan kaki mereka. Kejahatan berdiri (tegak) di atas jari-jari kakinya dan manusia yang tenggelam di dalamnya menjadi bingung, jahil dan terbujuk seakan-akan dalam suatu rumah yang baik[i] dengan tetangga-tetangga yang jahat. Sebagai ganti tidur, mereka terjaga, dan sebagai celaknya adalah air mata. Mereka berada di suatu negeri di mana orang berilmu terkekang (mulut mereka tertutup) sementara orang jahil dihormati.
Dalam khotbah yang sama, Amirul Mukminin a.s. merujuk kepada Ahlul Bayt sebagai berikut:
Mereka adalah pengemban wasiat, tempat berteduh bagi urusan-Nya, sumber pengetahuan tentang Dia, pusat kebijaksanaan-Nya, lembah bagi kitab-kitab-Nya dan bukit bagi agama-Nya. Melalui mereka Allah meluruskan punggung agama yang bengkok dan menyingkirkan gemetar anggota-anggota badannya.
Dalam khotbah yang sama,  ia berbicara tentang orang lain sebagai berikut:
Mereka menabur kejahatan, mengairinya dengan tipuan dan menuai kehancuran. Tak seorang pun di antara umat Islam yang dapat dipandang sejajar dengan Keluarga Muhammad SAWW.[ii] Orang yang mendapatkan kenikmatan dari mereka tak dapat dibandingkan dengan mereka. Mereka adalah fondasi agama dan tiang iman. Pelari di depan harus berbalik sementara yang di belakang harus menyusul mereka. Mereka memiliki ciri utama kewalian. Bagi mereka ada wasiat dan warisan (Nabi). Inilah waktunya hak itu kembali kepada pemiliknya dan dialihkan kepada pusat tempat kembalinya. •

[i] Rumah yang baik di sini berarti Makkah, sedang tetangga-tetangga yang buruk berarti kaum kafir Quraisy.
[ii] Tentang keluarga (āl) Nabi, Amirul Mukminin mengatakan bahwa tidak ada orang di dunia ini yang setaraf dengan mereka, tak ada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam kemuliaan, karena dunia ini penuh dibebani tanggung jawab mereka dan hanya mampu mendapatkan rahmal abadi melalui bimbingan mereka. Mereka adalah batu penjuru dan fondasi agama serta pemelihara kehidupannya dan kelanjutannya. Mereka adalah tiang-tiang pengetahuan dan keimanan yang demikian kuat sehingga dapat menyingkirkan arus dahsyat keraguan dan kecurigaan. Mereka begitu menengah di antara jalan berlebihan dan keterbelakangan sehingga barangsiapa pergi mendahului harus kembali, dan yang tertinggal di belakang harus melangkah maju ke jalan tengah itu, supaya tetap berada di jalan Islam. Mereka mempunyai semua keutamaan yang memberikan keunggulan dalam hak kewalian dan imamah, dan tiada orang lain dalam ummah yang mempunyai hak sebagai pelindung dan wali. Itulah sebabnya Nabi me-maklumkan mereka sebagai para wali dan pelanjutnya.
Tentang wasiat dan kewalian, pensyarah ibn Abil Hadid Al-Mu’tazili menulis bahwa tidak mungkin ada keraguan tentang kekhalifahan Amirul Mukminin, tetapi kewalian tak dapat mencakup kekhalifahan dalam pemerintahan, walaupun mazhab Syi’ah menafsirkannya demikian. Kewalian itu bermakna kewalian dalam pengetahuan. Sekarang, sekiranya menurut dia kewalian diartikan kewalian dalam pengetahuan sekalipun, nampaknya ia tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, karena sekalipun dengan penafsiarannya itu, hak untuk menggantikan Nabi tidak berpindah pada seseorang mana pun lainnya. Bilamana disepakati bahwa penge­tahuan adalah syarat yang paling hakiki bagi kekhalifahan, karena fungsi ter-penting dari khalifah Nabi ialah pelaksanaan keadilan, penyelesaian masalah hukum-hukum agama, menjelaskan hal-hal yang rumit, dan melaksanakan hukum-hukum agama. Apabila tugas-tugas ini dilepaskan dari khalifah Nabi maka ke-dudukannya akan merosot menjadi pemerintahan duniawi. la tak dapat dipandang sebagai pusat wewenang keagamaan. Oleh karena itu kita harus memisahkan wewenang pemerintahan dari kekhalifahan Nabi, atau menerima kewalian penge­tahuan Nabi untuk kesesuaian dengan kedudukan itu.
Interpretasi Ibn Abil Hadid dapat diterima, apabila Amirul Mukminin hanya mengucapkan kalimat ini saja. Tetapi, mengingat bahwa hal itu diucapkan segera setelah pengakuan terhadap Ali sebagai Khalifah, dan baru sesudah itu ada kalimat “hak itu telah kembali kepada pemiliknya”, penafsirannya ini nampak tak beralasan. Malah, wasiat Nabi itu tak dapat berarti wasiat apa pun selain ke­khalifahan, dan kewalian bukan berarti kewalian dalam harta atau pengetahuan, karena bukan tempatnya untuk menyebutnya di sini. Kewalian itu harus berarti kewalian dalam hak kepemimpinan yang datangnya dari Allah; bukan sekadar atas dasar kekeluargaan tetapi atas dasar sifat-sifat kesempurnaan.

Kamis, 03 Februari 2011

WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM MODERAT



Wanita adalah makhluk unik yang diciptakan Allah SWT, keunikannya nampak pada karakter dasar yang dimiliki setiap wanita, sebagaimana disinyalir Rasulullah saw bahwa wanita bak “Qowawir” (kaca) yang memiliki karakteristik seperti lembut, halus, ‘mudah pecah’ (sensitif), karenanya mesti disikapi dengan hati-hati. Beliau bersabda kepada seorang sahabat bernama Anjasyah: “wahai Anjasyah perlahan-lahanlah dalam berjalan, karena kita sedang mengiringi Al-Qawarir (wanita-wanita)” (HR. Bukhari).
Wanita juga merupakan makhluk yang menarik untuk dibicarakan dan dibahas. Kemenarikan bahasan dan pembicaraan wanita nampak pada beragamnya tema-tema bahasan wanita, dari persoalan pribadi wanita yang dapat menjadi zinah (perhiasan) sebagaimana sebaliknya bisa menjadi fitnah (bencana), sampai persoalan peran dan fungsi sosial wanita di luar rumah. Semuanya adalah bahasan yang dibicarakan dalam permasalahan wanita, sejatinya dilakukan secara cermat dan teliti, tanpa gegabah yang dapat menyebabkan kesalahan persepsi terhadap persoalan ini.
Persepsi tentang wanita yang bijak adalah persepsi yang tidak condong kepada pengekangan terhadap wanita karena sikap-sikap yang kaku terhadap teks-teks agama, sebaliknya tidak pula memberikan persepsi yang liberal yang cenderung mempersepsikan kebebasan tanpa batas dan kaidah-kaidah agama yang diangkat dan dibahas oleh para ulama Islam.
“Islam tidak memposisikan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang serba salah. Islam juga tidak membuat mereka merasa berdosa ketika harus terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hanya saja, Islam mewarnainya dengan adab-adab syar’i sebagaimana berbagai aktivitas lain. Islam meletakkan panduan bagi wanita yang dapat menjaga diri berikut masyarakatnya. misalnya menutup aurat, larangan berduaan (berkhalwat), pemberian batas-batas ikhtilath dan hal lain yang terkait dengan keterlibatan wanita dalam aktivitas sosial” [1] .

Posisi Wanita Dalam Islam
Untuk dapat meyakini keunggulan kedudukan dan posisi wanita dalam Islam secara lebih mantap, sebaiknya kita pahami pandangan terlebih dahulu posisi wanita dalam pandangan kebudayaan-kebudayaan kuno, seperti wanita dalam pandangan perundang-undangan China, Yunani, Romawi, India dan Italia dsb.
Dalam budaya China Kuno terdapat sebuah kaidah: "tidak ada di dunia sesuatu yang paling rendah nilainya selain wanita", "wanita adalah tempat terakhir dalam jenis kelamin dan dia mesti ditempat pada pekerjaan yang paling hina" [2] .
Dalam perundang-undangan Yunani, sebagaimana ditulis Dymosten: "kami menjadikan wanita pelacur untuk bersenang-senang, menjadikan teman wanita (pacar) untuk kesehatan fisik kami, menjadikan istri-istri kami agar kami memiliki anak-anak yang legal" [3] .
Di Italia pada sebagian wilayahnya wanita dianggap seperti pembantu rumah tangga, dia hanya boleh duduk di lantai sementara suaminya duduk di atas kursi. Apabila suaminya mengendarai kuda maka sang istri mesti berjalan di bawah mengikuti sang suami meski dalam perjalanan yang jauh sekalipun" [4] .
Sedangkan India dalam materi Qanun no: 147 disebutkan bahwa wanita tidak berhak pada setiap tahapan hidupnya untuk melakukan aktifitasnya sesuai keinginannya, meskipun dalam masalah rumah tangganya" [5] .
Dalam budaya Romawi wanita tidak mendapatkan posisi terhormat, bahkan diperlakukan seperti anak-anak dan orang-orang gila, sebagaimana dikutip  Abdul Mun'im Badr dan abdul Mun'im al-Badrawi dalam bukunya Mabadi' al-Qanun ar-Rumani hal: 197-265 [6] .
Sedangkan pandangan Arab Kuno terhadap wanita dapat kita cermati dari sebuah ayat al-Qur'an dari sekian banyak ayat-ayat al-Qur'an: "dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59).
Sedangkan sikap Islam terhadap wanita sangat adil dan proporsional; Islam sangat menghargai kedudukan wanita sebagaimana memberikan arahan-arahan untuk dapat menjaga kehormatan dan harga wanita sebagai makhluk Allah dengan segala keunikannya.
Islam menetapkan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan dan tanggungjawab secara umum[7], sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad saw dalam sebuah haditsnya :

النساء شقائق الرجال

“Wanita adala belahan dari pria” (HR. Ahmad dari Aisyah r.a)

Adapun terkait tugas masing-masing dalam keluarga dan masyarakat Islam menetapkan sikap proporsional bagi laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban mereka, sekaligus sebagai bukti keadilan Islam[8] , firman Allah SWT:

4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/4

“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang kakruf” (QS. Al-Baqarah: 228).
Islam memandang bahwa setiap jenis laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan masing-masing; Allah memberikan kelebihan bagi laki-laki atas perempuan dengan satu derajat, firmanNya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة:228]

“dan bagi mereka (wanita-wanita) hak sebagaimana kewajiban dengan makruf, bagi kaum lelaki atas mereka derajat, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228).

Karenanya Allah SWT memberikan tugas lebih berat bagi lelaki atas kaum perempuan; kaum lelakilah yang mengemban tugas-tugas berat seperti kenabian, kepemimpinan global (al-imamah al-uzhma), tugas qodho (peradilan), megimami shalat, jihad fi sabilillah. Sebagaimana diberikan kekhususan kepada kaum pria seperti penisbatan anak kepada bapaknya (lelaki), pembagian waris dua kali lipat atas bagian wanita dan sebagainya.
وقد روى الإمام أحمد في مسنده أن أم سلمة رضي الله عنها قالت: يا رسول الله، تغزُو الرجال ولا نغزو، ولنا نِصفُ الميراث!! فأنزل الله تعالى: وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ [النساء:32][9]
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya bahwa Ummu Salamah r.a berkata: wahai Rasulullah, kaum pria berperang sedangkan kami (kaum wanita) tidak, bagi kami setengah bagian warisan kaum pria?”, kemudian turun ayat 32 surat an-Nisa’: “dan janganlah kalian berangan-angan apa yang Allah beri kelebihan kepada sebahagian kalian atas sebahagian, bagi lelaki bagian apa yang mereka lakukan dan bagi perempuan bagian sesuai apa yang dilakukan, mintalah kepada Allah dari sebagian karuniaNya”.
Imam al-Qurthubi berkata[10]:
Tidak tersembunyi bagi orang cerdas terhadap kelebihan (yang dimiliki) kaum pria atas kaum wanita, kalaulah disebut-sebut bahwa wanita diciptakan dari (sebagian) penciptaan lelaki, maka hal itu (sebenarnya) orisinil, bagi lelaki hak melarang wanita melakukan sesuatu selain atas izinnya”.
Namun demikian, kelebihan tersebut yang merupakan karunia dari Sang Pencipta alam semesta, tidak berarti pelecehan terhadap hak-hak asasi perempuan dan apalagi tidak sama sekali berarti sikap diskriminatif terhadap perempuan; tidak pula secara otomatis bahwa setiap lelaki lebih baik dari semua wanita; karena ada sebuah kaidah yang berlaku, bahwa “melebihkan atas sesuatu tidak mesti penghinaan dan merendahkannya; seperti halnya keyakinan bahwa al-Qur’an seluruhnya adalah Kalamullah, ketika ada sebuah riwayat yang shahih bahwa ayat Kursi (al-Baqarah: 225) adalah ayat yang paling baik, bukan sama sekali berarti –na’idzubillah- bahwa ayat-ayat yang tidak baik. Contoh lain pernyataan tentang kelebihan sebahagian Nabi atas sebahagian lainnya sebagaimana dijelaskan dalam ayat 66 surah al-Isra’, tidak sama sekali bermaksud pelecehan terhadap Nabi yang lain tersebut. Maha Suci Allah SWT dari prasangka buruk orang-orang munafik.
Posisi wanita dalam Islam juga dapat dilihat dari perhatiannya kepada kewajiban pendidikan wanita secara khusus. Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang mempunyai dua anak perempuan, kemudian ia berbuat baik dalam hubungan dengan keduannya kecuali keduanya akan bisa memasukannya ke dalam surga." (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).
Dari Ibnu Abbas ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ”Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, kemudian ia berbuat baik dalam berhubungan dengan mereka dan bertakwa kepada Allah atas (hak) mereka, maka baginya surga" (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, hanya saja pada riwayat Abu Dawud Rasulullah saw bersabda, "Kemudian ia mendidik, berbuat baik, dan menikahkan mereka, maka baginya surga.").
Pendidikan wanita dalam Islam diawali dengan pendidikan dasar, yaitu akidan dan prinsip-prinsip iman, ibadah dan akhlak wanita muslimah. Demikian juga pendidikan skil dan ketrampilan bagi wanita seseuai kebutuhan zaman. Adalah Abul A'la Al Ma'arry berpesan kepada wanita seraya berkata: "Ajarilah mereka memintal dan menjahit. Biarkan mereka membaca dan menulis aksara. Doanya seorang dara dengan Al-Fatihah dan Al-Ikhlas sama dengan membaca Yunus dan Bara'ah".

Wanita Dalam al-Qur’an (Perspektif Balaghoh Qur’aniah).
Hawa adalah wanita pertama yang Allah SWT hadirkan ke muka bumi, Alloh menyebutnya di dalam al-Qur’an dengan lafal “zauj“  (زوج  ) yang termaktub dalam 5 ayat pada 5 surat yang berlainan (lihat: QS. 2:35, 4:1,  7:19, 20:117, 39:6). Pada 3 surat ( QS. 2:35, 7:19, 20:117 ) disebutkan bahwa Hawa ada diantara kisah suaminya Adam a.s, sedangkan 2 surat lainnya dinyatakan Hawa dalam konteks yang berbeda.
Menilik Hawa yang tercantum dalam surat 2:35, di dalamnya terkandung suatu makna betapa besarnya keberadaan seorang wanita di hadapan seorang pria, karena Sunnatulloh pria cenderung kepada wanita yang satu sama lainnya mempunyai ketergantungan, yang dengannya dapat memunculkan sakinah (ketenangan) lahir-bathin dalam mengarungi bahtera kehidupan, manakala keduanya mampu  melaksanakan tugas sebagai suami istri yang shalih dan shalihat.
Hal ini tersirat dalam al-Qur’an dengan kalimat ( اسكن أنت وزوجك الجنة ) artinya: Tinggallah kamu dan istrimua di dalam Surga; kata ( اسكن ) ditujukan kepada Adam dan Hawa dan tidak mengulang kata ( اسكن ) dalam bentuk perintah kepada Hawa seperti misalnya ( اسكن أنت ولتسكن زوجك ) tetapi hanya menyebutkan kata kerja perintah satu kali ( اسكن أنت وزوجك ). Maka kata (اسكن) memiliki konotasi sebuah mahligai rumah tangga  yang mampu menebarkan ketenangan dan kebahagiaan hidup seorang pria, karena disampingnya wanita setia menyertainya sebagai istri.
Dengan kata lain  seorang istri akan menikmati ketenangan dan kebahagiaan hidup ketika berhasil memerankan tugas sebagai istri  bagi suaminya [11] .
Dari kata sambung “waw” mengisyaratkan adanya jalinan yang harmonis antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan perkawinan yang sah. Demikian rahasia al-Qur'an tidak menyebutkan nama Adam atau Hawa, tetapi cukup dengan menyebutkan status Hawa sebagai istri Adam a.s, sebagai pertanda keharmonisan dan ketenangan hidup berumah tangga. Pada ayat tersebut berlaku untuk seluruh manusia yang ingin  menjalankan roda kehidupan di dunia dengan menata kehidupan rumah tangga di bawah rengkuhan ridho Allah Swt.
Maka untuk membangun rumah tangga yang harmonis tak luput dari unsur ta’awun (saling membantu ), agar dapat melaksanakan tugas dan perannya, baik yang bersifat moral maupun material, dijelaskan oleh Allah SWT ketika  Adam dan Hawa   menghadapi  godaan   dan  rayuan  Iblis -la’natulloh ‘alihi-, satu sama lain memperkokoh untuk mampu menghadapi dan melawan tipu daya serta bisikan Iblis menghancurkan keutuhan mereka, karena pada hakekatnya Iblis tidak hanya menggoda Adam, tetapi Hawa tak luput dari sasarannya (عدو لك ولزوجك: Musuh bagimu dan bagi istrimu), sebagaimana tercantum dalam QS. 20:117. Pun diperjelas dengan kata-kata selanjutnya dalam ayat itu ( فلايخرجنكما من الجنة  : Maka ia tidak mengeluarkan kalian berdua dari Surga, dengan kata ganti ( كما ) yang berlaku untuk berdua (Adam dan Hawa).
Namun kata-kata berikutnya  (فتشقى), menggunakan kata ganti yang berlaku untuk seorang, Allah tidak mengatakan ( فتشقيان ) misalnya, yang artinya: maka kalian berdua akan sengsara. Tetapi hanya berkata ( فتشـقى ) yang artinya maka akan sengsara (Engkau hai Adam). Melihat realita yang ada, sesungguhnya dalam membangun mahligai rumah tangga keduanya memiliki tugas yang diemban masing-masing, bagi seorang suami sebagai Qowwam (pemimpin) berperan pencari nafkah, seorang pemimpin yang memiliki wibawa di mata istri dan putra-putrinya, sedangkan Istri dengan belaian lembut dan sentuhan kasih sayang mampu menjadikan rumah tangga sebagai madrasah buat putra-putrinya, sebagai proses kaderisasi untuk memunculkan generasi tangguh dan berkualitas.
Demikian mulia dan tingginya nilai dan tugas yang diamanatkan kepada wanita sebagai istri dan seorang ibunda di dalam memfungsikan misi dan perannya bersama sang suami dan ayahanda, merupakan proyek besar bagi terwujudnya generasi yang mampu tampil dengan gelar khalifah  di muka bumi .
Selanjutnya termaktub di dalam surat An-Nisa ayat 1, bahwa kata  “zauj “ yang dimaksud adalah Hawa [12] .
Nilai mulia wanita juga dapat dilihat dari perannya sebagai pendamping pria, pertanda kebesaran Allah SWT menjadikan manusia dari satu asal (Adam a.s) yang kemudian melengkapi pasangan untuknya seorang istri (Hawa). Dari sana berawal proses penciptaan lahirnya anak manusia  sebagai asal muasal kejadian manusia yang kemudian menjadi titik tolak  berlakunya hukum sosial dalam Islam.
Perhatian al-Qur’an terhadap wanita dan permasalahannya sangat nampak pada pengangkatan kewanitaan, baik pada aspek figur dan kriterianya maupun aspek masalah-masalah yang dibahas; demikian banyak al-Qur’an menyebut kisah-kisah wanita yang berperan sebagai figure keteladanan seperti Asiah istri Fir’aun, Zainab binti Jahsyin istri Rasulullah saw, kisah ketegaran istri Nabi Ibrahim as, kisah fitnah terhadap Ummul Mu’minin Aisyah. Sebaliknya wanita-wanita berdosa yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian dan kesejahteraan hidup, seperti istri Nabi Nuh dan Nabi Luth, istri Abu Lahab.
Bahkan al-Qur’an memberikan penamaan khusus kepada nama sebuah surat al-Qur’an dengan sebutan an-Nisa’ (para wanita); di dalamnya dijelaskan tentang wanita yang memerankan penebar kebajikan bagi kehidupan dan hokum-hukum yang terkait dengan kewanitaan.
  
Wanita Dalam Hadits Nabi saw.
 Sebagaimana dalam al-Qur’an, hadits nabi saw sesuai fungsinya sebagai penafsir dan pemberi penjelasan al-Qur’an, mengangkat wanita sebagai makhluk Allah yang menempati posisi yang tinggi. Antara lain dapat dicermati dengan seksama hadits Nabi saw tentang asal muasal penciptaan wanita, bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam a.s dalam sabda Rasulullah saw :
( ... فإنهن خلقن من ضلع أعوج ... ) artinya: “(karena) mereka (kaum wanita) diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok” .
Hadits ini adalah hadits shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim [13], penciptaan semacam ini merupakan tanda kekuasaan Allah SWT yang mengatur sesuatu menurut kehendak-Nya, seperti halnya proses penciptaan Adam a.s tanpa ayah dan ibu, juga penciptaan Isa a.s tanpa ayah.
Maka dapat dipahami, bahwa penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bukan bermaksud merendahkan kedudukan kaum wanita dan tidak pula menyerahkan totalitas kekuasaan kepada pria atas wanita. Sebagai bukti hadits tsb diawali dengan suatu pesan Rasulullah saw kepada kaum pria sebagai suami atau seorang ayah: (استوصوا بالنساء خيرا): “ berlaku baiklah kepada wanita” [14]

Selanjutnya esensi penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam as sebagai isyarat adanya nilai fitrah yang terkandung yaitu keterikatan dan kecenderungan antara pria dan wanita dan pertanda adanya rasa saling membutuhkan satu  sama lainnya  untuk saling melengkapi, karena keduanya berasal dari tubuh yang satu, seiring dengan ungkapan Allah SWT ( زوج  ) yang berarti teman hidup [15] , karena keduanya lahir dari  proses penciptaan-Nya.
Keunikan ciptaan wanita seperti disebutkan dalam banyak hadits Nabi saw itu menempatkan wanita sebagai makhluk Allah yang mesti disikap dengan bijak dan sesuai fitrahnya dan asal kejadiannya; karenanya wanita di satu sisi disebut-sebut sebagai zinatul-hayah (perhiasan dunia), sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
"الدنيا متاع وخير متاعها المرأة الصالحة" (رواه مسلم)
“Dunia adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah (HR Muslim).

ألا أخبركم بخير ما يكنز المرء المرأة الصالحة إذا نظر إليها سرته وإذا غاب عنها حفظته، وإذا أمرها أطاعته" رواه ابن ماجه وأحمد والنسائي والحاكم
Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik harta simpanan seseorang? Yaitu wanita sholihah,jika ia memandangnya menyenangkannya, jika ia tidak berada di depannya ia peliharanya, jika ia memerintahkannya ia menataati” HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad, an-Nasa’I dan al-Hakim.
Tetapi di sisi lain wanita juga menjadi fitnah, sesuatu yang mendatangkan malapetaka dalam kehidupan bagi kaum pria, hal itu ditegaskan Nabi dalam haditsnya:
 ((ما تركتُ بعدي فتنةً أضرّ على أمّتي من النساء)) رواه البخاري ومسلم      [16]
“Tidak aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya atas umatku daripada wanita” (HR. Bukhari Muslim).

)وعند مسلم في صحيحه: (فاتقوا الدنيا، واتّقوا النساء، فإنّ أوّل فتنةِ بني إسرائيل كانت في النساء)[17]
Dalam riwayat Muslim: “takutlah terhadap dunia, dan terhadap wanita, karena fitnah pertama terhadap Bani Israil dahulu pada wanita”.
Dalam catatan sejarah dikenal peristiwa-peristiwa peperangan di jaman Jahiliyah yang terjadi disebabkan karena factor wanita seperti yang terjadi terhadap Kisra yang menginginkan seorang wanita namun ditolak oleh an-Nu’man[18], demikian peristiwa konflik dengan Yahudi dikarenakan gangguan terhadap wanita muslimah berjilbab yang terbuka sebagian auratnya di pasar Bani Qoinuqo’ di masa Nabi Muhammad saw [19] .
Wanita dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulullah saw adalah memiliki hak dan kewajiban sebagaimana kaum pria, sebagaimana Islam mengangkat prinsip persamaan antara lelaki dan perempuan, namun juga menyatakan realitas perbedaan baik fisik maupun emosi antara lelaki dan perempuan, karenanya persamaan dan kebebasan yang dimiliki kaum perempuan  direalisasi secara proporsional sesuai batas-batas yang ditentukan syariat Islam[20].
Tidak seperti yang dituduhkan oleh kaum Liberal bahwa wanita memiliki kebebasan tanpa batas dan arahan kaum pria, mereka kadang-kadang menggunakan dalil-dalil untuk melegitimasi pandangannya seperti ‘hadits’ :
)طاعةُ المرأة ندامة(

‘hadits’ tersebut adalah hadits palsu, dikeluarkan oleh Ibnu Ady dalam kitab al-Kamil 3/262, 5/262 dari Aisyah r.a dari hadits Zaid bin Tsabit r.a, Ibnu al-Jauzi (2/272) dan Imam Syaukani (129) serta al-Albani dalam Silsilah Hadits Dho’if (435) dan yang lainnya.
Seperti hadits yang lain:
((خذوا نِصفَ دينِكم من هذه الحُميراء))
Hadits tersebut juga palsu, seperti yang disebutkan dalam kitab Mirqotul Mafatih (10/565), bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Saya tidak mengenal sanadnya, juga periwayatannya dalam buku-buku hadits selain dalam kitab an-Nihayah Ibnu al-Atsir, tetapi beliau tidak menyebut siapa yang meriwayatkannya. Al-Hafizh Imaduddin ibnu Katsir, bahwa ia bertanya al-Mazzi dan adz-Dzahabi, keduanya berkata: tidak mengetahui (riwayat tersebut). As-Sakhowi berkata: disebutkan dalam al-Firdaus tanpa sanad dan tidak dengan lafazh ini, tetapi dengan lafazh (  خذوا ثلث دِينِكُم مِن بيتِ الحُميراء ) Penulis Musnad al-Firdaus mencantumkan riwayat ini namun tidak menyebutkan sanadnya. Imam as-Suyuthi mengatakan: “saya tidak menemukannya (riwayat tersebut) ”. kalaupun benar riwayat tersebut maksudnya adalah keunggulan yang dimiliki oleh Ummul Mukminin Aisyah r.a dalam hukum-hukum fiqh keluarga, bukan berarti tahrir al-mar’ah (liberalisasi kaum wanita).
Islam juga tidak memandang wanita wabagai makhluk yang serba kurang. Sebagaimana sebagian orang yang bersikap negative kepada wanita karena kekurangan yang diihat pada kaum wanita; sebahagian lagi menganggap wanita sebagi makhluk lemah dan serba kurang berdasarkan sebuah riwayat hadits :
( عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم: في أضحى أو فطر إلى المصلى (مصلى العيد) فمر على النساء، فقال: يا معشر النساء... ما رأيتُ ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن" أخرجه الشيخان.
Maksud hadits ini adalah bahwa wanita ketakjuban Nabi pada fenomena kemampuan wanita dalam mengambil hati pria, padahal pada diri mereka- secara umum- ada kelemahan. “Naqishot ‘aql berarti kurang daya ingat dalam beberapa persoalan hidup, sedangkan naqshu din ialah tidak diperkenankannya wanita melakukan beberapa ritual ibadah lantaran adanya penghalang seperti haidh dan nifas [21]. Wallahu A’alam bish-showab.

 Wanita dan Kepemimpinan

Pada dasarnya kepemimpinan secara umum diembankan kepada laki-laki, sebagaimana penegasan Allah SWT dalam surat an-Nisa’: 34
)الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ (النساء:34.
Kaum lelaki adalah pelindung (pemimpin) bagi kaum wanaita karena karunia Allah kepada sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian lainnya (wanita), dan karena (kewajiban) menafkahi dari harta mereka; maka wanita-wanita shalihat adalah yang tunduk patuh, menjaga diri ketika (sang suami) tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka… (QS. An-Nisa: 34).
Kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita juga dijelaskan Allah SWT dalam firmanNya  ayat 228 surat al-Baqarah
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“… dan baginya (kaum wanita) memiliki hak sebagaimana ada kewajiban dengan cara yang makruf, dan bagi kaum lelaki derajat atas kaum wanita, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana[22].
Namun demikian tidak ada satu teks agama yang melarang kepemimpinan kaum wanita atas kaum lelaki selain dalam hal al-walayah (kekuasaan) secara umum, seperti hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah r.a [23], Rasulullah saw bersabda:
)لن يفلح قوم ولَّوا أمرَهم امرأةً) ,وفي لفظ آخر (: ((ما أفلَح قومٌ )
“Suatu kaum tidak beruntung jika mereka mengangkat wanita sebagai pemimpin”.
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih[24], bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
 ( الآنَ هلكتِ الرجال إذا أطاعتِ النساء )
“Sekarang, binasalah kaum lelaki jika menaati kaum wanita” .
Maksud 2 riwayat hadits tersebut adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum (imamah kubra) terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Terkait dengan riwayat hadits pertama dapat disimpulkan pendapat para ulama Islam :
a-     Sebab periwayatannya adalah kabar tentang ketidakberuntungan orang-orang Persi, karena mereka memakai sistem kerajaan yang mengharuskan mengangkat putri pemimpinnya yang meninggal sebagai penggantinya, padahal selain putrinya masih banyak kaum pria yang lebih pantas menjadi pemimpin.
b-     Kalau ada ulama mengatakan yang menjadi pertimbangan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab, tetapi ada juga ulama yang berpendapat lain seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang menegaskan pentingnya perhatian kepada sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits agar tidak menjadi seperti kaum al-Haruriyah dan Khawarij yang cenderung tekstualis ekstrim.
c-     Jika hadits ini dipahami dengan keumuman lafazh saja maka bisa saja dikatakan bertentangan dengan ayat yang mengkisahkan ratu Bilqis yang adil dan cerdas.
d-     Para ulama sepakat bahwa wanita dilarang memegang al-walayah al-kubra atau al-imamah al-uzhma, yang dalam hadits ditunjukkan dengan kata ”wallau amrohum”. Namun ada juga ulama yang mengqiyaskan (menganalogi) imamah kubra dengan kepala negara. Singkatnya mereka berbeda pendapat dalam penetapan wanita sebagai kepada negara atau kepada daerah. Hal ini terbuka untuk medan ijtihad.
e-     Pembicaraan wanita menjadi menteri atau tugas-tugas lain di luar pembicaraan khilafiyah ulama diatas. Umar bin Khthab pernah mengangkat Syifa binti Abdullah al-’Adawiyah menjadi Kepala Bidang Urusan Pasar.
f-      Kedudukan seperti Indira Ghandi, Margaret Tatcher atau Golda Meir di Israel tidak dapat dikatakan penguasa kaum secara umum, sebab mereka hanya pimpinan dari partai dan kelompoknya (dalam perspektif demokrasi modern), karena masih banyak yang dapat menentang dirinya sebagai pemimpin[25] .